Rabu, 01 Mei 2013

TANAM PAKSA - SEJARAH INDONESIA BARU



SERBA SERBI TANAM PAKSA


Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi
Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Aset tanam
paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman
keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Di atas kertas, teori Cultuurstelsel memang tidak terlalu
memembebani rakyat, namun dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel terbukti
sangat merugikan petani terutama di Jawa yang mengakibatkan
kesengsaraan ,kemiskinan dan kematian bagi rakyat di tanah koloni .
Kata kunci : Penerapan, cultuurstelsel,daerah koloni

A.Pendahuluan

Selepas Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) menjadi muflis pada
akhir abad ke-18 dan selepas penguasaan United Kingdom yang singkat di
bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih
pemilikan SHTB pada tahun 1816. Belanda berjaya menumpaskan sebuah
pemberontakan di Jawa dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830.
Selepas tahun 1830, sistem tanam paksa yang dikenali sebagai cultuurstelsel
dalam bahasa Belanda mulai diamalkan. Dalam sistem ini, para penduduk
dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasaran
dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dan sebagainya. Hasil-hasil tanaman itu
kemudian dieksport ke luar negara.
Pada tahun 1901, pihak Belanda mengamalkan apa yang dipanggil
mereka sebagai Politik Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek) yang
termasuk perbelanjaan yang lebih besar untuk mendidik orang-orang pribumi
serta sedikit perubahan politik. Di bawah Gabenor Jeneral J.B. van Heutsz,
pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang tempoh penjajahan mereka
secara langsung di seluruh Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan asas
untuk negara Indonesia pada saat ini.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda
antara tahun 1830 sampai pertengahan abad ke-19 mereka menamakannya
dengan cultuurstelsel. Dalam historiografi Indonesia yang tradisional istilah
itu diganti menjadi “Tanam Paksa” yang menonjolkan aspek normatif dari
sistem tersebut yakni kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan
oleh penerapan sistem tersebut. Istilah yang dipergunakan oleh Belanda
tersebut selain terbatas pada aspek ekonominya, sehingga makna padanan kata
cultuurstelsel tersebut dalam bahasa Indonesia sesungguhnya adalah “sistem
pembudidayaan”, atau juga dapat disebut budidaya tanam. Namun demikian
praktek di lapangan terutama dari segi pengelolaannya dapatlah diamati
bahwa aspek politik kolonial sangat menonjol. Usaha produksi sesungguhnya
dilaksanakan oleh rakyat atau petani dengan pengawasan para penguasa
daerah dari tingkat bupati sampai ke tingkat desa. Pada waktu itu hubungan
politik antara Belanda dan Mataram yang telah menjadi saling tergantung
sejak tahun 1755, dan terutama pasca Perang Diponegoro di mana Belanda
membantu pihak keraton, merupakan format politik yang mendorong dan
memunculkan terselenggaranya sistem tanam paksa.
Pada saat Thomas Stanford Raffles berkuasa di Hindia Belanda,
Belanda sedang mengalami kesulitan ekonomi yang lebih banyak diakibatkan
oleh Perang Napoleon dan isolasi ekonomi yang disebabkan Stelsel
Kontinental. Oleh sebab itu, Belanda kehilangan sebagian besar
perdagangannya dan pelayarannya. Peranannya sebagai pasar penimbun
barang mundur dan dunia perdagangan melahirkan pusat-pusat perdagangan
baru. Pedagang-pedagang Belanda tidak dapat bersaing dengan pedagangpedagang
Inggris karena para pedagang Inggris dapat memasarkan kain-kain
Lanchashire dengan harga yang relatif murah. Untuk mengatasi kondisi
tersebut Belanda melaksanakan sistem merkantilisme yakni memungut biaya
yang tinggi terhadap barang-barang yang masuk, dan memungut pajak yang
tinggi pula bagi barang-barang buatan negeri induik yang akan dipasarkan di
daerah koloni serta memonovoli perdagangan pemerintah.
Dalam kondisi yang demikian, di Parlemen Belanda terjadi perbedaan
pandangan antara golongan konservatif dengan golongan liberal. Golongan
konservatif menganggap bahwa eksploitasi yang dijalankan di tanah koloni
sudah sesuai dengan tuntutan situasi, sementara sistem eksploitasi yang
dikonsepkan oleh golongan liberal belum sepenuhnya meyakinkan
pemerintah. Dalam situasi perbedaan pandangan ini, golongan liberal terpecah
menjadi dua, yakni golongan liberal yang masih mempertahankan prinsipprinsip
liberal seperti kebebasan berusaha dan campur tangan yang minimal
dari pihak pemerintah dalam urusan-urusan perseorangan. Di lain sisi,
terdapat sekelompok dari golongan liberal yang menekankan pada prinsipprinsip
humaniter dan menginterpretasikan prinsip liberal sebagai prinsip
memberi keadilan dan perlindungan bagi semua kepentingan. Dalam
menghadapi golongan liberal yang terpecah tersebut, golongan konservatif
dapat meyakinkan pemerintah bahwa sistem kumpeni terbukti dapat
dilaksanakan dan lebih efektif, sementara sistem liberal tidak dapat
dilaksanakan di negeri jajahan karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi
ekonomi lokal.

B. Ketentuan-Ketentuan Tanam Paksa

Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa
harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor
khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan
kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus
bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena
seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk
praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki
lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi
Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding
sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang
sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual
komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan
sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset
tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada
zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini,
Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda,
pada 25 Desember 1839.
Culturstelsel di Jawa dimulai pada tahun 1836 atas inisiatif seseorang
yang berpengalaman dalam urusan tersebut yaitu Van Den Bosch yang telah
memiliki pengalaman dalam mengelola perkebunan di wilayah kekuasaan
Belanda di Kepulauan Karibia. Tujuan Van Den Bosch yang dijadikan
Gubernur Jenderal adalah “mentransformasikan pulau Jawa menjadi eksportir
besar-besaran dari produk-produk agraria, dengan keuntungan dari
penjualannya terutama mengalir ke keuangan Belanda. Tujuan Van Den
Bosch dengan sistem cultuurstelsel di Jawa itu adalah untuk memproduksi
berbagai komoditi yang menjadi permintaan di pasaran dunia. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bosch menganjurkan pembudidayaan berbagai
produk seperti kopi, gula, indigo (nila), tembakau, teh, lada, kayumanis,
jarak, dan lain sebagainya. Persamaan dari semua produk itu adalah bahwa
petani dipaksakan oleh pemerintah kolonial untuk memproduksinya dan
sebab itu tidak dilakukan secara voluter (Fasseur, 1992: 239).
Sedangkan ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa
sebagaimana tercantum dalam staatsblad tahun 1834 no.22. yang isinya
adalah sebagai berikut.
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk hal mana mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan
yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan
tersebut tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang
dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, jika nilai-nilai hasil
tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus
dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Apabila terjadi gagal panen pada tanaman dagang harus dibebankan kepada
pemerintah, hal tersebut berlaku apabila kegagalan tersebut tidak
disebabkan oleh kekurangrajinan atau ketekunan pada pihak rakyat.
7. Dalam mengerjakan tanah-tanah untuk penanaman tanaman dagang,
penduduk desa diawasi oleh para pemimpin desa mereka, sedangkan
pegawai-pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan
apakah pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman
berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya (Sutjipto, 1977: 76-77).
Jika diamati dari segi isi staatsblad tersebut, maka Sistem Tanam
Paksa tidak begitu memberatkan pada penduduk. Namun demikian dalam
pelaksanaannya ternyata telah mengakibatkan kesengsaraan yang
berkepanjangan kepada rakyat. Dampaknya cukup destruktif menjadikan
rakyat miskin dan tidak teratur hidupnya. Penduduk selalu terbebani oleh
perilaku-perilaku pemimpin-pemimpin mereka yang memaksakan rakyat
untuk taat terhadap nperaturan yang ditetapkannya. Fenomena ini diakibatkan
oleh adanya penyimpangan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
staatsblad yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Penduduk lebih
banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman
berkualitas ekspor, sehinga tidak dapat mengerjakan sawahnya dengan baik,
bahkan dalam suatu waktu tidak dapat mengerjakan sawahnya sama sekali.

C. Pelaksanaan Tanam Paksa

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut
setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), dan
Perang Padri di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jenderal Van den
Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur
Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong,
atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai
40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke
Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian
tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari
kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang
pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih
banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah
sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan
pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi,
teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung,
dibudidayakan.
Menurut penelitian Prof. Fasseur dari Universitas Leiden, pada tahun
1884 sekitar 75.5 % penduduk Jawa dikerahkan dalam cultuurstelsel atau
tanam paksa. Penduduk di Karesidenan Batavia dan daerah kesultanan di Jawa
Tengah atau Vortsenlanden tidak mengambil bagian dalam sistem tersebut.
Jumlah tersebut kemudian berfluktuasi tetapi tidak turun secara drastis karena
pemerintah Hindia Belanda berusaha mempertahankan eksistensi tanah untuk
tanaman komoditi ekspor. Kemudian pada tahun 1850, umpamanya jumlah
tersebut telah menurun menjadi 46 %, tetapi ditahun 1860 naik lagi menjadi
54.5%. Kendatipun demografi belum muncul pada masa ini, dan data
kependudukan yang diperoleh dari laporan-laporan para pejabat Belanda
sering simpang siur, namun dapat dikatakan bahwa sistem cultuurstelsel ini
jelas-jelas telah mengakibatkan dampak yang destruktif bagi penduduk Jawa.
Luas tanah garapan yang digunakan untuk sistem itu menurut perhitungan,
pada tahun 1840 hanya 6 % saja. Pada tahun 1850 menurun menjadi 4 %, dan
pada tahun 1860 naik lagi sedikit menjadi 4.5 %.
Jenis tanah yang dibutuhkan juga berbeda-beda untuk masing-masing
tanaman. Tebu (untuk gula) memerlukan tanah persawahan yang baik, karena
tebu membutuhkan irigasi yang lancar. Tetapi kopi justru memerlukan tanah
yang agak tandus (woeste gronden). Yang tidak dapat digunakan untuk
persawahan, terutama dilereng-lereng gunung. Indigo membutuhkan daerah
yang padat penduduknya. Pada dasarnya sistem ini membawa perubahan pada
sistem pemilikan tanah. Karena penyelenggaraannya dilakukan per desa, maka
tanah-tanah juga dianggap milik desa, bukan milik perorangan (Fasseur 1992:
28,29).
Prof. Fasseur berhasil membuat kalkulasi mengenai berbagaii
komoditi yang ditanam tahun 1830 dan membawa hasil sekitar tahun 1840
(Fasseur 1993: 34). Dalam waktu sepuluh tahun (1830-1840) semua
karesidenan (18 buah) di Jawa telah terserap dalam sistem ini (kecuali
karesidenan Batavia). Kopi diusahakan mulai dari Banten hingga karesidenan
Basuki. Kopi diusahakan mulai dari Banten hingga karesidenan Basuki di
Jawa Timur. Tetapi produksi kopi terbesar berasall dari karesidenan8
karesidenan Priangan (Jawa Barat), Kedu (Jawa Tengah), Pasuruan dan
Basuki (Jawa Timur).
Dalam jangka waktu yang sama gula telah berhasil diusahakan di 13
karesidenan. Pusatnya terutama di Jawa Timur, yaitu karesidenan-karesidenan
Surabaya, Pasuruan, dan Basuki (dalam tahun 1840 produksi dari wilayah ini
mencapai hampir 65%). Selain itu terdapat gula pula dikaresidenankaresidenan
Japara, Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah) dan
Cirebon (Jawa Barat). Dalam jangka waktu yang sama pula Indigo berhasil
diusahakan dii 11 karesidenan, Tetapi produksi utama berasal dari dua
karesidenan di Jawa Tengah, yaitu Bagelan dan Banyumas, yang
menghasilkan 51%. Juga di Cirebon dan Pekalongan ada diusahakan sedikit
indigo. Tembakau yang diusahakan melalui cultuurstelsel dilakukan di
Karesidenan Rembang dan sekitar Pacitan (Jawa Tengah). Sedangkan
kayumanis diselenggarakan di Karawang (Jawa Barat).
Dalam penyelenggaraan cultuurstelsel pihak Belanda berusaha agar
sedapat mungkin tidak berhubungan langsung dengan petani. Sebab itu
penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa,
dan masyarakat desa sendiri. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya,
yang dihitung dalam pikol (+ 62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang
pemerintah. Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat
ketempat lain karena pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan
penguasannya kepada para pejabat Belanda setempat (para kontrolir) yang
mempunyai motivasi untuk meningkatkan produksi karena mereka
memperoleh “cultuurprocent” prosentase tertentu dari hasil panen. Untuk itu
sampai tahun 1860 dikerahkan tidak kurang 90 orang kontrolir dan sekitar
orang pengawas berkebangsaan Belanda.
Mobilisasi penduduk dilakukan sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dalam tatanan politik Mataram, yaitu apa yang oleh Belanda
dinamakan “heerendiensten” (Djuliati Suryo, 1993). Yaitu kewajiban rakyat
untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan bayaran.
Hak ini kemudian beralih pada Belanda yang sejak Perang Diponegoro
dianggap sebagai penguasa, kecuali di Vortsenlanden. “Kapan saja
pemerintahan membutuhkan tenaga rakyat, maka para bupati, sesuai dengan
instruksi yang diberikan pada mereka, harus mengupayakan agar setiap desa
menyediakan tenaga kerja secara adil.” Beberapa jumlah penduduk yang harus
dikerahkan disetiap desa itu diserahkan sepenuhnya pada para bupati. Tetapi
sesuai kebiasaan pula, hanya mereka yang memiliki hak atas penggarapan
tanah (sikep) yang wajib memenuhi panggilan bupati tersebut. Ini pula
sebabnya selama dilaksanakannya cultuurstelsel, diadakan pembagian tanah
bagi penduduk yang tidak memiliki (numpang), sehingga kemudian muncul
sikep-sikep baru yang wajib melaksanakannya “heerendiensten” pula
(Fasseur, 1992: 30).
Tugas petani bukan sekedar menanam, tetapi juga memproses hasil
panennya untuk diserahkan di gudang-gudang pemerintah. Pengangkutannya
ke gudang-gudang tersebut adalah tugas petani pula. Terutama produksi kopi
seluruhnya dalam tangan petani, dalam hal gula muncul pula pabrik-pabrik
guna yang dikelola secara modern dengan modal asing (Fasseur, 1993: 33).
Penduduk mendapat bayaran untuk hasil kerjanya. Tetapi para ahli
sejarah belum bisa memastikan bagaimana pemerintah menentukan tinggi
rendahnya upah itu. Maksud semula Van den Bosch adalah agar upah
disesuaikan dengan fluktuasi harga pasar, namun hal ini dinggap tidak praktis.
Mungkin karena para petani belum memahami kaitan pekerjaan mereka
dengan mekanisme pasar. Menurut penelitian Prof. R. Van Niel dari
Universitas Hawaii, jumlah upah disesuaikan dengan jumlah pajak tanah (land
rent) yang harus dibayar petani. Tetapi sejak semula Van den Bosch
menginginkan agar upah yang diterima petani harus memungkinkan mereka
“menikmatinya” dan itu berarti harus lebih banyak dari hasil pesawahan.
Tetapi kemudian ternyata berbagai faktor lain turut menentukan tinggi
rendahnya upah petani. Masalah kesuburan tanah (sawah untuk tebu) tentu
diperkirakan lebih tinggi pembayaran pajak tanahnya dibandingkan dengan
tanah gersang untuk kopi. Masalah iklim, teknologi yang digunakan, dan lain
sebagainya, turut menentukan tinggi rendahnya upah. Dengan demikian upah
bervariasi, bukan saja untuk masing-masing komoditi tetapi juga dari
karesidenan-karesidenan (Fasseur, 1992 : 42). Contoh yang diberikan oleh
Prof. Fasseur mengenai masalah upah ini diambil dari dua komoditi yang
berbeda, yaitu gula dan indigo (nila).
Dengan demikian salah satu dampak dari cultuurstelsel adalah
masuknya ekonomi uang di pedesaan. Penduduk membayar pajak tanah (land
rent) yang diintroduksi oleh Raffles dengan uang. Kenyataan ini saja sudah
menunjuk adalah perubahan dalam kehidupan pedesaan. Suatu masalah yang
penting pula adalah apa yang dinamakan “cultuur procent” (Fasseur, 1993:
46-50), yaitu jumlah persentase yang diterima para pejabat Belanda maupun
sesuai dengan produksi yang diserahkan pada gudang-gudang pemerintah.
Jumlah itu tidak jarang jauh lebih besar dari gaji yang diterima. Van den
Bosch sengaja menambah hal ini untuk mendorong para pejabat tersebut
bekerja keras. Lagi pula cara itu juga sudah dipakai dalam Preangerstelsel.
Dengan demikian, cara ini sesungguhnya bukan ciptaan Van den Bosch.
“Cultuur procenten” ternyata membawa dampak yang kurang baik
dalam korps kepegawaian Belanda karena menimbulkan perbedaan
pendapatan yang mencolok antara mereka yang terlibat dengan cultuurstelsel
dan yang tidak dan antara mereka yang bekerja di daerah “kurus”. Ketidak
puasan pada pihak pejabat Belanda nampak dari permintaan untuk di
pindahkan ke daerah lain.
Dalam gambaran yang komprehensif, pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa mengalami banyak penyimpangan-penyimpangan yang serius.
Penyimpangan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa tersebut lebih banyak
diakibatkan oleh adanya cultuur-procenten, sehingga para pengawas tanam
paksa yang menyetorkan tanaman wajib akan mendapatkan imbalan.
Dampaknya, semua pengawas berusaha menyetorkan hasil produksi
sebanyak-banyaknya dengan memeras rakyat. Akhirnya yang menjadi sapi
perahan adalah rakyat yang tidak memiliki otoritas dalam menetapkan hasil
panen tanamannya. Ditambah lagi dengan sikap-sikap para kepala desa yang
lebih sering menjadi kaki tangan pemerintah kolonial, sehingga kebijakannya
seenaknya dalam menetapkan luas lahan penduduk yang akan digunakan
untuk areal penanaman wajib, berapa penduduk yang harus bekerja sebagai
buruh, termasuk menetapkan berapa hasil produksi yang harus dibayar oleh
penduduk.
Ketimpangan yang diwujudkan oleh pelaksanaan politik tanam paksa
ini mulai mendapat perhatian di Belanda, dimana hal ini berhubungan dengan
kemunculan gerakan liberal di negeri induk tersebut. Secara umum mereka
dapat digolongkan ke dalam dua kategori yaitu golongan humanis dan
golongan kapitalis. Golongan humanis mengatakan bahwa Siatem Tanam
Paksa harus segera dihapuskan karena telah banyak menindas dan
menyengsarakan penduduk di tanah jajahan. Dalam terminologinya, padahal
tanah jajahan telah memiliki kontribusi yang sangat besar dalam
menyelamatkan negara dari kebangkrutan. Dengan demikian, perlu
diupayakan perbaikan-perbaikan nasib rakyat tanah jajahan. Sementara
golongan kapitalis beranggapan bahwa Sistem Tanam Paksa tidak
menciptakan kehidupan ekonomi yang sehat. Sistem Tanam Paksa
memperlakukan rakyat tanah jajahan sebagai objek bukannya melibatkannya
dalam kegiatan ekonomi yang menambah ruwetnya sistem perekonomian
Hindia Belanda.
Dalam rangka mengikat para penguasa lokal ini, pemerintah Belanda
tidak hanya mengembalikan kekuasaan mereka saja, melainkan juga
meningkatkan prestise mereka dengan gaji berupa tanah yang akan memberi
mereka tenaga kerja dan penghasilan lain yang dihasilkannya. Di samping itu,
Van Den Bosch menerapkan sistem prosentase yakni hadiah bagi petugas
yang berhasil menyerahkan hasil tanaman yang melebihi dari yang ditentukan.
Namun yang menjadi permasalahan lanjut adalah bahwa kebijakan tersebut
menjadi sember dan ladang korupsi serta penyelewengan-penyelewengan
yang merugikan rakyat. Sistem prosentase dianggap sebagai legalisasi
pemerintah kolonial terhadap segala bentuk pemerasan seperti luas tanah yang
diusahakan pemerintah tidak terbatas, wajib kerja penduduk melebihi
ketentuan yang telah ditetapkan, tanaman wajib, pajak-pajak, dan kerja wajib
tidak dihapus. Sementara hasil dari kebijakan cultuur stelsel sangat
memuaskan dan menguntungkan pemerintah Belanda.(Kartodirdjo, 1990: 15).
Pada tahun 1848, Sistem Tanam Paksa mendapat kritikan melalui
perdebatan di Parlemen Belanda. Perdebatan terjadi antara golongan liberal
dengan golongan konservatif, seputar evaluasi penerapan sistem tanam paksa
di Hindia Belanda. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan
memberikan keuntungan kepada negeri induk apabila masalah-masalah
perekonomian diserahkan kepada pihak swasta. Dengan demikian, pemerintah
kolonial hanya memungut pajan dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Pemerintah tidak perlu campur tangan dalam urusan perdagangan hasil bumi
di tanah jajahan. Berbeda dengan kaum liberal, kaum konservatif tetap
berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberikan keuntungan kepada
negeri induk apabila urusan ekonomi ditangani langsung oleh pemerintah.
Pemerintah harus campur tangan dalam pemungutan hasil bumi di tanah
jajahan. Bagi kaum konservatif, Hindia Belanda dianggap belum siap untuk
menerima kebijakan politik liberal. Dari perdebatan kedua golongan tersebut,
golongan liberal menang dan dapat meluruskan sistem pemerintahan di tanah
koloni. Dua orang sebagai pembela nasib penduduk koloni adalah Douwes
Dekker dan Baron Van Hoevell. Dalam mkaryanya yang berjudul “Max
Havelar”, Douwes Dekker membentangkan kekejaman sisten tanam paksa.
Sementara Fransen Van Der Putte juga menulis Zuker Contracten, yang juga
banyak mengkritik ketidakadilan dalam sistem tanam paksa.
Berkat kecaman dan kegigihan kaum liberal tersebut, maka
pemerintah Hindia Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, melainkan
tidak sekaligus melainkan secara bertahap atau berangsur-angsur. Proses
penghapusan sistem tanam paksa secara bertahap yakni: pertama kali
penghapusan sistem tanam paksa lada pada tahun 1860. Penghapusan tanam
paksa untuk eh dan nila pada tahun 1865, dan pada tahun 1870 hampir semua
jenis tanaman paksa sudah dihapuskan, kecuali tanaman paksa kopi di
priangan.

D. Cultur Stelsel Di Luar Jawa

Selain di Jawa, cultuur stelsel juga dijalankan di luar Pulau Jawa
meskipun dalam skala yang tidak sebanding dengan di pulau Jawa. Sejak
tahun 1822 di Minahasa telah dilaksanakan cultuur stelsel untuk tanaman
kopi. Sistem tanam paksa di daerah ini berlangsung cukup lama, sampai
dihapuskannya pada tahun 1899. Sementara di Sumatera Barat pada tahun
1847 pasca Perang Padri, juga diselengarakan cultuur stelsell untuk tanaman
kopi yang baru dihapus pada tahun 1908. Sedangkan di Madura juga
dijalankan cultuur stelsel untuk tanaman tembakau. Di samping itu, di Maluku
juga sistem ini dijalankan bahkan sejak masa VOC, yakni untuk tanaman
cengkeh di Kepulauan Ambon, dan pala di kepulauan Banda. Sistem tanam
paksa di kepulauan Maluku ini baru dihapuskan pada tahun 1860. Dengan
demikian, meskipun secara umum dikatakan bahwa sistem tanam paksa
berlangsung dari tahun 1830-1870, tetapi dalam praktek yang sesungguhnya
bahwa sistem tersebut telah berlangsung jauh sebelum tahun 1830, dan
berakhir secara total pada awal abad ke-20. Ini dapat dijadikan referensi baru
bahwa melihat sejarah tanam paksa harus ditampilkan secara utuh mengingat
kompleksnya kajian sistem ini baik secara makro maupun mikro.
Pada masa VOC, Minahasa telah terkait dengan pola-pola pelayaran
niaga VOC yakni sebagai daerah pemasok beras. Kewajiban sebagai pemasok
beras ini beru dihentikan pada tahun 1852. Sementara itu di daerah ini
pemerintah Hindia Belanda telah menerapkan sistem tanam paksa semenjak
tahun 1822. Daerah yang paling cocok untuk budi daya kopi waktu itu adalah
di Dataran Tinggi Tondano yang sesuai dengan ekologi kopi. Wilayah
tersebut merupakan bagian dari Minahasa yang penduduknya tergolong padat.
Dengan potensi tenaga kerja yang banyak di wilayah ini, maka sangat
memungkinkan untuk dilakukan mobilisasi tenaga kerja secara tradisional
baik yang diperlukan untuk penanaman kopi itu sendiri, maupun untuk
membangun prasarananya. Tanaman kopi lebih banyak dibudidayakan di
distrik Romboken dan meluas ke distrik-distrik sekitarnya seperti Tomohon,
Kawanokoan, dan Sonder (Schouten, 1993: 51-72).
Untuk pembudidayaan kopi, lahan-lahan yang dimanfaatkan adalah
tanah kalekeran, yaitu suatu tanah milik distrik yang kosong dan tidak digarap
oleh penduduk karena keadaan tanahnya kurang baik untuk kebun atau
persawahan. Pembukaan lahan-lahan kalekeran ini sangat memberatkan
penduduk karena letaknya yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Dalam
hal lain upah yang diberikan juga tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka.
Setiap pikol pemerintah Belanda hanya membayar f 10, padahal setiap
keluarga hanya dapat menghasilkan satu pikol belum lagi dengan adanya
kecurangan-kecurangan yang dijalankan oleh para petugas lapangan dalam
menimbang kopi. Dalam hal lain, penduduk juga dibebani oleh biaya
pengangkutan, dimana pengangkutan kopi ke gudang-gudang pemerintah
yang berada di wilayah pantai cukup jauh, padahal mereka harus dengan
memikulnya. Baru sejak tahun 1851 pemerintah membuka gudang-gudang di
daerah pegunungan, sehingga pekerjaan penduduk menjadi lebih ringan.
Sedangkan pengangkutan dari gudang-gudang pegunungan ke gudang-gudang
di daerah pantai dilakuna oleh para pekerja yang diberi upah (Leirissa, 1996:
62).
Namun demikian, dalam rangka memperlancar proses pengangkutan
kopi, penduduk tetap terbebani untuk membangun prasarana yang terkikat
secara tradisional. Maka semenjak tahun 1851 jalan-jalan dan jembatan
penghubung daerah pegunungan dengan daerah pantai mulai dibangun. Dalam
pelaksanaannya, penduduk diharuskan bekerja secara bergiliran dan sukarela
tanpa upah. Sehingga sewaktu-waktu, mereka harus siap dipanggil untuk
bekerja dalam pembuatan sarana dan prasarana. Pada umumnya mereka
dipimpin oleh pemimpin tradisional mereka yaitu para kepala walak yang
memiliki otoritas tradisional untuk memerintah setiap warga yang berada di
bawah pimpinannya. Pekerjaan tersebut seringkali membawa kesengsaraan
kepada rakyat karena letak proyek-proyek tersebut jauh dari desa tempat
tinggal mereka, atau dapat pula pada lokasi-lokasi yang sangat sulit, sehingga
mengancam keselamatannya. Pekerjaan unum tersebut juga sangat
membebankan dan memberatkan karena pada suatu ketika penduduk harus
memanen tanaman untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, mereka dapat
panggilan untuk kerja bakti membangun sarana umum tersebut.
Jika dibandingkan dengan kopi Jawa, baik dari segi ekonomi maupun
kualitas, hasilnya tidak terlalu rendah. Bahkan banyak para pejabat Belanda
yang secara langsung mengakui bahwa Kopi Menado jauh lebih baik
ketimbang Kopi Padang. Malahan pada bagian kedua abad ke-19 Kopi
Menado sempat mengungguli Kopi Jawa. Namun demikian dari segi
kuantitas, produksi Minahasa jauh lebih rendah dibanding Kopi Padang yang
rata-rata menghasilkan 191.000 pikul setiap tahun. Sedangkan Kopi Jawa
lebih benyak lagi yakni dapat mencapai 2 juta pikul setiap tahunnya. Namun
demikian, Minahasa telah memiliki sejarah sosial yang cukup berperan dalam
pengayaan sejarah nasional, terutama masa diterapkannya sistem tanam paksa.
Semenjak tahun 1820 hingga tahun 1840, di Minangkabau kopi telah
dibudidaya secara perorangan sebelum diberlakukannya cultuur stelsel.
Sebagaimana halnya di Minahasa, di Minangkabau juga penanaman kopi
dilakukan di daerah-daerah pegunungan. Lahan-lahan yang dipakai juga
dalam kategori lahan tidur yang kurang produktif untuk pertanian lain. Karena
sebagian besar kopi ditanam di daerah daerah pegunungan terutama lahanlahan
yang berada dalam kawasan hutan, maka kopi Minangkabau lebih
sering dekenal sebagai “kopi hutan”. Seperti halnya di Minahasa, di
Minangkabau juga penduduk dibebani dengan kerja tanpa upah untuk
membangun sarana-sarana terutama jalan-jalan dan jembatan untuk keperluan
pengangkutan kopi dari daerah pegunungan ke Padang. Sementara para
pemimpin tradisional yang bertugas menggerakkan penduduk adalah para
penghulu, sehingga dengan ikatan tradisional tersebut penduduk patuh pada
atasannya.
Dalam penelitian Prof. Kenneth Young, disimpulkan beberapa
penyebab atau faktor pendorong keberhasilan budi daya tanam kopi di
Minangkabau. Pertama adalah kebijakan mengenai pemberian upah yang
tidak membingungkan para petani, karena telah diatur dengan jelas. Harga per
pikul ditetapkan f 20 atau sekitar 32 sen per kg, dan setelah dipotong berbagai
ongkos yang harus dibayar, petani menerima f 4 per pikul atau 5 sen per kg.
Kedua tersedianya tenaga kerja yang cukup banyak yang dapat dikerahkan
untuk keperluan penerapan budibaya tanam kopi tersebut. Ketiga adalah
adanya tradisi dagang yang telah tertanam dan menjiwai masyarakat
Minangkabau yang menyebabkan orang terdorong untuk menjalankan
pekerjaan yang menghasilkan uang (Young, 1988: 136-164).
Young dalam penelitiannya juga menyimpulkan sebab-sebab
kegagalan dari penerapan sistem ini. Pertama adalah habisnya lahan pertanian
yang cocok untuk budi daya kopi sehingga tidak dapat dilakukan ekspansi
secara terus menerus. Kedua adalah munculnya penyakit tanaman kopi yang
sulit untuk di atasi, sehingga produksi semakin berkurang. Ketiga Perang
Aceh yang berlangsung relatif lama sehingga banyak menguras perhatian
pemerintah Belanda untuk menanganinya, sementara budidaya kopi menjadi
kurang diperhatikan. Keempat adalah cara-cara pengelolaan yang kurang baik
karena terbiasa dengan pola budidaya perseorangan yang telah berlangsung
sebelum cultuur stelsel diterapkan.
E. Kritik Terhadap Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut
setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), dan
Perang Padri di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jenderal Van den
Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur
Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong,
atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai
40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke
Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian
tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari
kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang
pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih
banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah
sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan
pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi,
teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung,
dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar
biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri,
melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda.
Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman
dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang
dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung,
Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional
Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handels
Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun
melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa
Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa
yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di
Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi
diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Cultuurstelsel ternyata membawa keuntungan yang sangat besar bagi
para pemegang saham Nederlandsche Handel-Maatschappij dan tentunya juga
raja Belanda- di negeri Belanda, Pemerintah Belanda serta pemerintah India
Belanda. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan ekspor dari India-Belanda,
terutama ke Eropa. Ekspor tahun 1830 hanya berjumlah 13 juta gulden, dan
tahun 1840 ekspor meningkat menjadi 74 juta gulden. Penjualan hasil bumi
tersebut dilakukan oleh NHM; keuntungan yang masuk ke kas Belanda -antara
1830 sampai 1840- setiap tahun sekitar 18 juta gulden, ini adalah sepertiga
dari anggaran belanja Pemerintah Belanda.
Seorang mahasiswi Belanda, Annemare van Bodegom, pada tahun
1996 mengadakan penelitian untuk menyusun skripsinya. Ia menyoroti
periode antara 1830 –awal diterapkannya cultuurstelsel oleh Gubernur
Jenderal Johannes Graaf van den Bosch (1830-1833)- sampai tahun 1877.
Keuntungan yang diraup Belanda –yang dinamakan batig slot atau surplus
akhir- mencapai 850 juta gulden, yang antara lain digunakan untuk membiayai
pembangunan infrastruktur di Belanda seperti jalan kereta api, saluran air dll.
Di sisi lain, cultuurstelsel ini membawa kesengsaraan dan bahkan kematian
rakyat yang dijajah. Antara tahun 1849-1850 saja, tercatat lebih dari 140.000
orang pribumi meninggal sebagai akibat kerja dan tanam paksa. Apabila nilai
850 juta gulden dihitung dengan indeks tahun 1992, maka nilainya setara
dengan 15,4 milyar gulden. Tak dapat dibayangkan, berapa keuntungan yang
diraup oleh Belanda dari Indonesia antara 1602-1942 apabila dihitung dengan
indeks tahun 2002.
Di atas kertas, teori Cultuurstelsel memang tidak terlalu
memembebani rakyat, namun dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel yang
sangat menguntungkan Belanda, terbukti sangat merugikan petani terutama di
Jawa dan mengakibatkan kesengsaraan dan kematian bagi rakyat banyak,
sehingga cultuurstelsel tersebut lebih dikenal sebagai sistem tanam paksa,
karena petani diharuskan menanam komoditi yang sangat diminati dan mahal
di pasar Eropa, yang mengakibatkan merosotnya hasil tanaman pangan
sehingga di beberapa daerah timbul kelaparan, seperti yang terjadi di Cirebon
tahun 1844, di Demak tahun 1848 dan di Grobogan tahun 1849.
Sejak 1840, selama 60 tahun berikutnya nilai ekspor dari India-
Belanda ke Belanda meningkat 10 kali lipat, dari 107 juta gulden menjadi 1,16
milyar gulden. Selama kurun waktu itu, juga terjadi perubahan komoditi
ekspor; selain kopi, teh, gula dan tembakau, yang masih terus diekspor, kini
ekspor bahan baku untuk industri seperti karet, timah dan minyak, menjadi
lebih dominan. Seiring dengan perkembangan ekspor dan jenis ekspor, titik
berat perkebunan pindah ke Sumatera Timur, di mana didirkan perkebunanperkebunan
besar, terutama untuk tembakau dan karet.
Selain monopoly perdagangan komoditi “normal”, ternyata Belanda
juga memperoleh keuntungan besar dari perdagangan opium (candu), yang
kemudian juga dimonopoli oleh VOC dan penerusnya, Pemerintah India-
Belanda. Semula impor opium dari Bengali pada tahun 1602 hanya sebanyak
satu setengah peti, meningkat menjadi 2.000 peti pada tahun 1742.
Keuntungan per peti dapat mencapai 1.800 sampai 2.000 gulden, dan agar
penjualannya terjamin, Belanda juga mendorong pribumi untuk
mengkonsumsi opium. Pada akhir abad 19, Konsulat Belanda di Singapura
melaporkan, ekspor candu dari Bengali ke India-Belanda mencapai hampir
3.700 peti.
Ewald van Vugd, seorang wartawan dan penerbit berkebangsaan
Belanda, pada 1985 menyoroti politik perdagangan opium Belanda yang
dipaparkan dalam bukunya Wetig Opium. Menurut van Vugt, candu mulai
menjadi sumber penghasilan utama Belanda sejak tahun 1743. Antara tahun
1848-1866, laba perdagangan candu mencapai 155,9 juta gulden, yakni 8,2 %
pemasukan total dari tanah jajahan, dan kontribusi pemasukan dari jajahan
Belanda terhadap seluruh anggaran Belanda sebesar 12,5%! Antara tahun
1860-1915, laba candu meningkat 15 persen per tahun. Laba candu antara
1904-1940 sebesar 465 juta gulden! Tak heran apabila van Vugt tahun 1988
menerbitkan buku dengan judul yang menggemparkan, yaitu Het dubbele
Gezicht van de Koloniaal (wajah ganda dari penjajahan), yang memuat sisi
negatif penjajahan Belanda, seperti pedagangan candu, perdagangan budak,
kerja paksa, kekerasan senjata dll.
Demikianlah wajah penjajahan Belanda waktu itu, demi keuntungan
materi untuk para tuan besar, mereka mengorbankan rakyat di jajahan mereka,
bahkan secara sistematis merusak mental dan kesehatan rakyat dengan
menganjurkan untuk mengisap candu. Tidaklah mengherankan apabila
sekarang keluarga kerajaan Belanda termasuk keluarga paling kaya di dunia
dan Belanda termasuk salah satu negara termakmur di Eropa Barat, berkat
perdagangan budak, perdagangan candu, tanam paksa dan berbagai praktek
pelanggaran HAM. Hal-hal yang sangat tidak manusiawi seperti ini, telah
menggerakkan hati beberapa orang Belanda yang humanis, seperti Eduard
Douwes Dekker, yang kemudian melancarkan kritik terhadap politik
Pemerintah India-Belanda melalui berbagai tulisan, juga dalam bentuk roman
dengan nama “Max Havelaar”, yang ditulis pada tahun 19860.
Namun kritikan yang dilontarkan tersebut tidak menyurutkan
Pemerintah Kolonial Belanda untuk membuat berbagai peraturan untuk
menakut-nakuti rakyat jajahannya yang berniat membangkang. Pada tahun
1880 diberlakukan peraturan yang dinamakan Poenale Sanctie, yaitu peraturan
yang memuat ancaman hukuman badan (kurungan dan pukulan) bagi kuli-kuli
yang melanggar peraturan kerja. Tujuan utama Poenale Sanctie adalah
menjamin tenaga buruh bagi majikan, juga membatasi kemerdekaan buruh
untuk meninggalkan perkebunan tempat bekerja. Mohammad Hatta menunjuk
buku tulisan H.F. Tillema yang berjudul “Kromo Belanda” yang berisi
keluhan dan pengaduan tentang bagaimana Pemerintah Belanda melalaikan
kesehatan rakyat. Hatta menunjukkan keadaan buruk di kalangan buruh,
misalnya bahwa seorang kuli (buruh) di Sumatera dipaksa bekerja dengan
kekerasan dan diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan Belanda.
Pukulan-pukulan dengan rotan, penahanan melawan hukum, penelanjangan
buruh yang dianggap salah oleh majikan merupakan kebiasaan pada waktu
itu.
Poenale Sanctie yang kejam dan tidak berperikemanusiaan menambah
kesengsaraan rakyat Indonesia, dan memperpanjang daftar pelanggaran HAM
oleh Belanda, serta meningkatkan kemarahan dan kebencian di kalangan
bangsa Indonesia. Pers dan para pemimpin bangsa Indonesia mengecam
Poenale Sanctie ini. Setelah gencar kritik dan kecaman di negeri Belanda
sendiri, baru pada tahun 1924 Majelis Rendah Belanda mengajukan protes
atas Poenale Sanctie tersebut, namun Poenale Sanctie baru dicabut tahun
1941, ketika Perang Dunia di Eropa telah dimulai dan ancaman Jepang di Asia
telah di depan mata.

P E N U T U P

Tidak salah lagi Sistem Tanam Paksa yang diterapkan di Hindia
Belanda telah mendatangkan perubahan sosial masyarakat baik secara makro
maupun mikro. Pada pokoknya, Sistem Tanam Paksa merupakan
penghisapan dan pemerasan secara brutal yang dikelola oleh orang-orang yang
tamak dan haus akan kekuasaan, yang nilai-nilainya dibentuk oleh
latarbelakang kebudayaan masing-masing. Sistem Tanam Paksa menjalankan
suatu tipu muslihat pada lingkungan sosio-ekonomi secara lebih canggih dan
rumit. Dalam membahas Sistem Tanam paksa, akan lebih komprehensif
apabila dikaji tidak secara tradisional, agar berbagai aspek yang menyertai
dilaksanakannya sistem dapat teungkap. Karena jika tidak, maka gambaran
utuh dari sistem ini tidak akan ditemukan. Namun demikian secara riil adalah
tidak dapat diabaikan bahwa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
mengkondisikan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Adanya pembentukan modal. Aspek ini tidak dapat
disangkal oleh peneliti manapun bahwa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
telah menimbulkan permodalan di Hindia Belanda. Pembentukan modal yang
merupakan aspek dari sejarah kolonial yang terutama melibatkan orang-orang
Eropa dan Cina, ketimbang bangsa Indonesia sendiri, bahwa modal
perusahaan di Eropalah yang menyebabkab terpecah-pecahnya Sistem Tanam
Paksa yang diawasi oleh pemerintah itu. Pembentukan modal yang utama,
yang bedampak pada meluasnya tanam paksa di Jawa, terjadi di Jawa sendiri,
dan kondisi tersebut terjadi selama berjalannya Sistem Tanam Paksa dan
merupakan bagian dari Sistem Tanam Paksa tersebut.
Kedua adanya tenaga buruh yang murah yang menandai kehidupan di
Jawa yang telah lama berlangsung jauh sebelum Sistem Tanam Paksa
diterapkan. Rakyat kelas bawah sudah menjadi tradisi bekerja wajib untuk
para pemimpin tradisional yang memiliki otoritas tradisional sebagai
pemimpin dalam masyarkatnya. Hubungan-hubungan ketergantungan di
samping adanya perbudakan dalam kebanyakan hal, merupakan kunci yang
menentukan dari perbedaan-perbedaan sosial dalam masyarakat.
Ketiga ekonomi pedesaan yang berubah selama penerapan Sistem
Tanam Paksa dan sesudahnya. Struktur politik dan ekonomi pedesaan yang
selama abad ke-19 menunjukkan kenyataan-kenyataan sosial-ekonomi dari
kehidupan orang-orang Jawa, dengan mengubah hasil panen dan tenaga buruh
yang murah menjadi pengaturan fungsional. Desa-desa merupakan sumber
dari mana tenaga buruh dan hasil pertanian ditarik, walaupun hanya dari
beberapa penduduk desa. Pada awal abad ke-19, golongan atas di pedesaan
Jawa menjadi lebih kuat karena penunjukkan tugas-tugas dan kewenangankewenangan
baru yang memungkinkan para kepala desa dan para kroninya
yang memiliki otoritas atas pengawasan lahan, tenaga buruh dan hasil
pertanian sampai ke tingkat yang lebih besar daripada yang yang pernah
terjadi sebelumnya.

KEPUSTAKAAN

Anne Booth, William J.O’Malley, Anna Weidemann (ed), 1988. Sejarah
Ekonomis Indonesia. Jakarta: LP3ES.
23
Ardiansyah, Syamsul. Cultuur Procenteen.
Hutagalung, B.R., Batig Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan
Opium oleh Pemerintah India-Belanda.
Robert Van Niel, 1992. Java Under the Cultivation System: Collected
Writings. Leiden: KITLV Press.
R.E. Elson, 1978. The Cultivation System and ‘Agricultural Involution’.
Melbourne: Monash University.
C. Fasseur, 1975. Kultuurstelsel en Koloniale Baten: De Nederlandse
Exploitatie Van Java 1840-1860. Leiden: University Press.
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Tentang Penulis
Zulkarnain. Lahir di sumbawa Besar, 9 Agustus 1974. Menamatkan
Pendidikan S2 Pendidikan sejarah Univ.Jakarta. Saat ini berprofesi sebagai
tenaga pengajaran di Program Studi Pendidikan Sejarah FISE Universitas
Negeri Yogyakarta dan mengampu mata kuliah Sejarah Ketatanegaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar