Rabu, 01 Mei 2013

TANAM PAKSA - SEJARAH INDONESIA BARU



SERBA SERBI TANAM PAKSA


Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi
Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Aset tanam
paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman
keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Di atas kertas, teori Cultuurstelsel memang tidak terlalu
memembebani rakyat, namun dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel terbukti
sangat merugikan petani terutama di Jawa yang mengakibatkan
kesengsaraan ,kemiskinan dan kematian bagi rakyat di tanah koloni .
Kata kunci : Penerapan, cultuurstelsel,daerah koloni

A.Pendahuluan

Selepas Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) menjadi muflis pada
akhir abad ke-18 dan selepas penguasaan United Kingdom yang singkat di
bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih
pemilikan SHTB pada tahun 1816. Belanda berjaya menumpaskan sebuah
pemberontakan di Jawa dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830.
Selepas tahun 1830, sistem tanam paksa yang dikenali sebagai cultuurstelsel
dalam bahasa Belanda mulai diamalkan. Dalam sistem ini, para penduduk
dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasaran
dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dan sebagainya. Hasil-hasil tanaman itu
kemudian dieksport ke luar negara.
Pada tahun 1901, pihak Belanda mengamalkan apa yang dipanggil
mereka sebagai Politik Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek) yang
termasuk perbelanjaan yang lebih besar untuk mendidik orang-orang pribumi
serta sedikit perubahan politik. Di bawah Gabenor Jeneral J.B. van Heutsz,
pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang tempoh penjajahan mereka
secara langsung di seluruh Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan asas
untuk negara Indonesia pada saat ini.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda
antara tahun 1830 sampai pertengahan abad ke-19 mereka menamakannya
dengan cultuurstelsel. Dalam historiografi Indonesia yang tradisional istilah
itu diganti menjadi “Tanam Paksa” yang menonjolkan aspek normatif dari
sistem tersebut yakni kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan
oleh penerapan sistem tersebut. Istilah yang dipergunakan oleh Belanda
tersebut selain terbatas pada aspek ekonominya, sehingga makna padanan kata
cultuurstelsel tersebut dalam bahasa Indonesia sesungguhnya adalah “sistem
pembudidayaan”, atau juga dapat disebut budidaya tanam. Namun demikian
praktek di lapangan terutama dari segi pengelolaannya dapatlah diamati
bahwa aspek politik kolonial sangat menonjol. Usaha produksi sesungguhnya
dilaksanakan oleh rakyat atau petani dengan pengawasan para penguasa
daerah dari tingkat bupati sampai ke tingkat desa. Pada waktu itu hubungan
politik antara Belanda dan Mataram yang telah menjadi saling tergantung
sejak tahun 1755, dan terutama pasca Perang Diponegoro di mana Belanda
membantu pihak keraton, merupakan format politik yang mendorong dan
memunculkan terselenggaranya sistem tanam paksa.
Pada saat Thomas Stanford Raffles berkuasa di Hindia Belanda,
Belanda sedang mengalami kesulitan ekonomi yang lebih banyak diakibatkan
oleh Perang Napoleon dan isolasi ekonomi yang disebabkan Stelsel
Kontinental. Oleh sebab itu, Belanda kehilangan sebagian besar
perdagangannya dan pelayarannya. Peranannya sebagai pasar penimbun
barang mundur dan dunia perdagangan melahirkan pusat-pusat perdagangan
baru. Pedagang-pedagang Belanda tidak dapat bersaing dengan pedagangpedagang
Inggris karena para pedagang Inggris dapat memasarkan kain-kain
Lanchashire dengan harga yang relatif murah. Untuk mengatasi kondisi
tersebut Belanda melaksanakan sistem merkantilisme yakni memungut biaya
yang tinggi terhadap barang-barang yang masuk, dan memungut pajak yang
tinggi pula bagi barang-barang buatan negeri induik yang akan dipasarkan di
daerah koloni serta memonovoli perdagangan pemerintah.
Dalam kondisi yang demikian, di Parlemen Belanda terjadi perbedaan
pandangan antara golongan konservatif dengan golongan liberal. Golongan
konservatif menganggap bahwa eksploitasi yang dijalankan di tanah koloni
sudah sesuai dengan tuntutan situasi, sementara sistem eksploitasi yang
dikonsepkan oleh golongan liberal belum sepenuhnya meyakinkan
pemerintah. Dalam situasi perbedaan pandangan ini, golongan liberal terpecah
menjadi dua, yakni golongan liberal yang masih mempertahankan prinsipprinsip
liberal seperti kebebasan berusaha dan campur tangan yang minimal
dari pihak pemerintah dalam urusan-urusan perseorangan. Di lain sisi,
terdapat sekelompok dari golongan liberal yang menekankan pada prinsipprinsip
humaniter dan menginterpretasikan prinsip liberal sebagai prinsip
memberi keadilan dan perlindungan bagi semua kepentingan. Dalam
menghadapi golongan liberal yang terpecah tersebut, golongan konservatif
dapat meyakinkan pemerintah bahwa sistem kumpeni terbukti dapat
dilaksanakan dan lebih efektif, sementara sistem liberal tidak dapat
dilaksanakan di negeri jajahan karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi
ekonomi lokal.

B. Ketentuan-Ketentuan Tanam Paksa

Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa
harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor
khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan
kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus
bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena
seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk
praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki
lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi
Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding
sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang
sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual
komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan
sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset
tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada
zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini,
Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda,
pada 25 Desember 1839.
Culturstelsel di Jawa dimulai pada tahun 1836 atas inisiatif seseorang
yang berpengalaman dalam urusan tersebut yaitu Van Den Bosch yang telah
memiliki pengalaman dalam mengelola perkebunan di wilayah kekuasaan
Belanda di Kepulauan Karibia. Tujuan Van Den Bosch yang dijadikan
Gubernur Jenderal adalah “mentransformasikan pulau Jawa menjadi eksportir
besar-besaran dari produk-produk agraria, dengan keuntungan dari
penjualannya terutama mengalir ke keuangan Belanda. Tujuan Van Den
Bosch dengan sistem cultuurstelsel di Jawa itu adalah untuk memproduksi
berbagai komoditi yang menjadi permintaan di pasaran dunia. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bosch menganjurkan pembudidayaan berbagai
produk seperti kopi, gula, indigo (nila), tembakau, teh, lada, kayumanis,
jarak, dan lain sebagainya. Persamaan dari semua produk itu adalah bahwa
petani dipaksakan oleh pemerintah kolonial untuk memproduksinya dan
sebab itu tidak dilakukan secara voluter (Fasseur, 1992: 239).
Sedangkan ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa
sebagaimana tercantum dalam staatsblad tahun 1834 no.22. yang isinya
adalah sebagai berikut.
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk hal mana mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan
yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan
tersebut tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang
dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, jika nilai-nilai hasil
tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus
dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Apabila terjadi gagal panen pada tanaman dagang harus dibebankan kepada
pemerintah, hal tersebut berlaku apabila kegagalan tersebut tidak
disebabkan oleh kekurangrajinan atau ketekunan pada pihak rakyat.
7. Dalam mengerjakan tanah-tanah untuk penanaman tanaman dagang,
penduduk desa diawasi oleh para pemimpin desa mereka, sedangkan
pegawai-pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan
apakah pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman
berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya (Sutjipto, 1977: 76-77).
Jika diamati dari segi isi staatsblad tersebut, maka Sistem Tanam
Paksa tidak begitu memberatkan pada penduduk. Namun demikian dalam
pelaksanaannya ternyata telah mengakibatkan kesengsaraan yang
berkepanjangan kepada rakyat. Dampaknya cukup destruktif menjadikan
rakyat miskin dan tidak teratur hidupnya. Penduduk selalu terbebani oleh
perilaku-perilaku pemimpin-pemimpin mereka yang memaksakan rakyat
untuk taat terhadap nperaturan yang ditetapkannya. Fenomena ini diakibatkan
oleh adanya penyimpangan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
staatsblad yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Penduduk lebih
banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman
berkualitas ekspor, sehinga tidak dapat mengerjakan sawahnya dengan baik,
bahkan dalam suatu waktu tidak dapat mengerjakan sawahnya sama sekali.

C. Pelaksanaan Tanam Paksa

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut
setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), dan
Perang Padri di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jenderal Van den
Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur
Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong,
atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai
40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke
Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian
tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari
kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang
pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih
banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah
sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan
pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi,
teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung,
dibudidayakan.
Menurut penelitian Prof. Fasseur dari Universitas Leiden, pada tahun
1884 sekitar 75.5 % penduduk Jawa dikerahkan dalam cultuurstelsel atau
tanam paksa. Penduduk di Karesidenan Batavia dan daerah kesultanan di Jawa
Tengah atau Vortsenlanden tidak mengambil bagian dalam sistem tersebut.
Jumlah tersebut kemudian berfluktuasi tetapi tidak turun secara drastis karena
pemerintah Hindia Belanda berusaha mempertahankan eksistensi tanah untuk
tanaman komoditi ekspor. Kemudian pada tahun 1850, umpamanya jumlah
tersebut telah menurun menjadi 46 %, tetapi ditahun 1860 naik lagi menjadi
54.5%. Kendatipun demografi belum muncul pada masa ini, dan data
kependudukan yang diperoleh dari laporan-laporan para pejabat Belanda
sering simpang siur, namun dapat dikatakan bahwa sistem cultuurstelsel ini
jelas-jelas telah mengakibatkan dampak yang destruktif bagi penduduk Jawa.
Luas tanah garapan yang digunakan untuk sistem itu menurut perhitungan,
pada tahun 1840 hanya 6 % saja. Pada tahun 1850 menurun menjadi 4 %, dan
pada tahun 1860 naik lagi sedikit menjadi 4.5 %.
Jenis tanah yang dibutuhkan juga berbeda-beda untuk masing-masing
tanaman. Tebu (untuk gula) memerlukan tanah persawahan yang baik, karena
tebu membutuhkan irigasi yang lancar. Tetapi kopi justru memerlukan tanah
yang agak tandus (woeste gronden). Yang tidak dapat digunakan untuk
persawahan, terutama dilereng-lereng gunung. Indigo membutuhkan daerah
yang padat penduduknya. Pada dasarnya sistem ini membawa perubahan pada
sistem pemilikan tanah. Karena penyelenggaraannya dilakukan per desa, maka
tanah-tanah juga dianggap milik desa, bukan milik perorangan (Fasseur 1992:
28,29).
Prof. Fasseur berhasil membuat kalkulasi mengenai berbagaii
komoditi yang ditanam tahun 1830 dan membawa hasil sekitar tahun 1840
(Fasseur 1993: 34). Dalam waktu sepuluh tahun (1830-1840) semua
karesidenan (18 buah) di Jawa telah terserap dalam sistem ini (kecuali
karesidenan Batavia). Kopi diusahakan mulai dari Banten hingga karesidenan
Basuki. Kopi diusahakan mulai dari Banten hingga karesidenan Basuki di
Jawa Timur. Tetapi produksi kopi terbesar berasall dari karesidenan8
karesidenan Priangan (Jawa Barat), Kedu (Jawa Tengah), Pasuruan dan
Basuki (Jawa Timur).
Dalam jangka waktu yang sama gula telah berhasil diusahakan di 13
karesidenan. Pusatnya terutama di Jawa Timur, yaitu karesidenan-karesidenan
Surabaya, Pasuruan, dan Basuki (dalam tahun 1840 produksi dari wilayah ini
mencapai hampir 65%). Selain itu terdapat gula pula dikaresidenankaresidenan
Japara, Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah) dan
Cirebon (Jawa Barat). Dalam jangka waktu yang sama pula Indigo berhasil
diusahakan dii 11 karesidenan, Tetapi produksi utama berasal dari dua
karesidenan di Jawa Tengah, yaitu Bagelan dan Banyumas, yang
menghasilkan 51%. Juga di Cirebon dan Pekalongan ada diusahakan sedikit
indigo. Tembakau yang diusahakan melalui cultuurstelsel dilakukan di
Karesidenan Rembang dan sekitar Pacitan (Jawa Tengah). Sedangkan
kayumanis diselenggarakan di Karawang (Jawa Barat).
Dalam penyelenggaraan cultuurstelsel pihak Belanda berusaha agar
sedapat mungkin tidak berhubungan langsung dengan petani. Sebab itu
penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa,
dan masyarakat desa sendiri. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya,
yang dihitung dalam pikol (+ 62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang
pemerintah. Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat
ketempat lain karena pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan
penguasannya kepada para pejabat Belanda setempat (para kontrolir) yang
mempunyai motivasi untuk meningkatkan produksi karena mereka
memperoleh “cultuurprocent” prosentase tertentu dari hasil panen. Untuk itu
sampai tahun 1860 dikerahkan tidak kurang 90 orang kontrolir dan sekitar
orang pengawas berkebangsaan Belanda.
Mobilisasi penduduk dilakukan sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dalam tatanan politik Mataram, yaitu apa yang oleh Belanda
dinamakan “heerendiensten” (Djuliati Suryo, 1993). Yaitu kewajiban rakyat
untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan bayaran.
Hak ini kemudian beralih pada Belanda yang sejak Perang Diponegoro
dianggap sebagai penguasa, kecuali di Vortsenlanden. “Kapan saja
pemerintahan membutuhkan tenaga rakyat, maka para bupati, sesuai dengan
instruksi yang diberikan pada mereka, harus mengupayakan agar setiap desa
menyediakan tenaga kerja secara adil.” Beberapa jumlah penduduk yang harus
dikerahkan disetiap desa itu diserahkan sepenuhnya pada para bupati. Tetapi
sesuai kebiasaan pula, hanya mereka yang memiliki hak atas penggarapan
tanah (sikep) yang wajib memenuhi panggilan bupati tersebut. Ini pula
sebabnya selama dilaksanakannya cultuurstelsel, diadakan pembagian tanah
bagi penduduk yang tidak memiliki (numpang), sehingga kemudian muncul
sikep-sikep baru yang wajib melaksanakannya “heerendiensten” pula
(Fasseur, 1992: 30).
Tugas petani bukan sekedar menanam, tetapi juga memproses hasil
panennya untuk diserahkan di gudang-gudang pemerintah. Pengangkutannya
ke gudang-gudang tersebut adalah tugas petani pula. Terutama produksi kopi
seluruhnya dalam tangan petani, dalam hal gula muncul pula pabrik-pabrik
guna yang dikelola secara modern dengan modal asing (Fasseur, 1993: 33).
Penduduk mendapat bayaran untuk hasil kerjanya. Tetapi para ahli
sejarah belum bisa memastikan bagaimana pemerintah menentukan tinggi
rendahnya upah itu. Maksud semula Van den Bosch adalah agar upah
disesuaikan dengan fluktuasi harga pasar, namun hal ini dinggap tidak praktis.
Mungkin karena para petani belum memahami kaitan pekerjaan mereka
dengan mekanisme pasar. Menurut penelitian Prof. R. Van Niel dari
Universitas Hawaii, jumlah upah disesuaikan dengan jumlah pajak tanah (land
rent) yang harus dibayar petani. Tetapi sejak semula Van den Bosch
menginginkan agar upah yang diterima petani harus memungkinkan mereka
“menikmatinya” dan itu berarti harus lebih banyak dari hasil pesawahan.
Tetapi kemudian ternyata berbagai faktor lain turut menentukan tinggi
rendahnya upah petani. Masalah kesuburan tanah (sawah untuk tebu) tentu
diperkirakan lebih tinggi pembayaran pajak tanahnya dibandingkan dengan
tanah gersang untuk kopi. Masalah iklim, teknologi yang digunakan, dan lain
sebagainya, turut menentukan tinggi rendahnya upah. Dengan demikian upah
bervariasi, bukan saja untuk masing-masing komoditi tetapi juga dari
karesidenan-karesidenan (Fasseur, 1992 : 42). Contoh yang diberikan oleh
Prof. Fasseur mengenai masalah upah ini diambil dari dua komoditi yang
berbeda, yaitu gula dan indigo (nila).
Dengan demikian salah satu dampak dari cultuurstelsel adalah
masuknya ekonomi uang di pedesaan. Penduduk membayar pajak tanah (land
rent) yang diintroduksi oleh Raffles dengan uang. Kenyataan ini saja sudah
menunjuk adalah perubahan dalam kehidupan pedesaan. Suatu masalah yang
penting pula adalah apa yang dinamakan “cultuur procent” (Fasseur, 1993:
46-50), yaitu jumlah persentase yang diterima para pejabat Belanda maupun
sesuai dengan produksi yang diserahkan pada gudang-gudang pemerintah.
Jumlah itu tidak jarang jauh lebih besar dari gaji yang diterima. Van den
Bosch sengaja menambah hal ini untuk mendorong para pejabat tersebut
bekerja keras. Lagi pula cara itu juga sudah dipakai dalam Preangerstelsel.
Dengan demikian, cara ini sesungguhnya bukan ciptaan Van den Bosch.
“Cultuur procenten” ternyata membawa dampak yang kurang baik
dalam korps kepegawaian Belanda karena menimbulkan perbedaan
pendapatan yang mencolok antara mereka yang terlibat dengan cultuurstelsel
dan yang tidak dan antara mereka yang bekerja di daerah “kurus”. Ketidak
puasan pada pihak pejabat Belanda nampak dari permintaan untuk di
pindahkan ke daerah lain.
Dalam gambaran yang komprehensif, pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa mengalami banyak penyimpangan-penyimpangan yang serius.
Penyimpangan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa tersebut lebih banyak
diakibatkan oleh adanya cultuur-procenten, sehingga para pengawas tanam
paksa yang menyetorkan tanaman wajib akan mendapatkan imbalan.
Dampaknya, semua pengawas berusaha menyetorkan hasil produksi
sebanyak-banyaknya dengan memeras rakyat. Akhirnya yang menjadi sapi
perahan adalah rakyat yang tidak memiliki otoritas dalam menetapkan hasil
panen tanamannya. Ditambah lagi dengan sikap-sikap para kepala desa yang
lebih sering menjadi kaki tangan pemerintah kolonial, sehingga kebijakannya
seenaknya dalam menetapkan luas lahan penduduk yang akan digunakan
untuk areal penanaman wajib, berapa penduduk yang harus bekerja sebagai
buruh, termasuk menetapkan berapa hasil produksi yang harus dibayar oleh
penduduk.
Ketimpangan yang diwujudkan oleh pelaksanaan politik tanam paksa
ini mulai mendapat perhatian di Belanda, dimana hal ini berhubungan dengan
kemunculan gerakan liberal di negeri induk tersebut. Secara umum mereka
dapat digolongkan ke dalam dua kategori yaitu golongan humanis dan
golongan kapitalis. Golongan humanis mengatakan bahwa Siatem Tanam
Paksa harus segera dihapuskan karena telah banyak menindas dan
menyengsarakan penduduk di tanah jajahan. Dalam terminologinya, padahal
tanah jajahan telah memiliki kontribusi yang sangat besar dalam
menyelamatkan negara dari kebangkrutan. Dengan demikian, perlu
diupayakan perbaikan-perbaikan nasib rakyat tanah jajahan. Sementara
golongan kapitalis beranggapan bahwa Sistem Tanam Paksa tidak
menciptakan kehidupan ekonomi yang sehat. Sistem Tanam Paksa
memperlakukan rakyat tanah jajahan sebagai objek bukannya melibatkannya
dalam kegiatan ekonomi yang menambah ruwetnya sistem perekonomian
Hindia Belanda.
Dalam rangka mengikat para penguasa lokal ini, pemerintah Belanda
tidak hanya mengembalikan kekuasaan mereka saja, melainkan juga
meningkatkan prestise mereka dengan gaji berupa tanah yang akan memberi
mereka tenaga kerja dan penghasilan lain yang dihasilkannya. Di samping itu,
Van Den Bosch menerapkan sistem prosentase yakni hadiah bagi petugas
yang berhasil menyerahkan hasil tanaman yang melebihi dari yang ditentukan.
Namun yang menjadi permasalahan lanjut adalah bahwa kebijakan tersebut
menjadi sember dan ladang korupsi serta penyelewengan-penyelewengan
yang merugikan rakyat. Sistem prosentase dianggap sebagai legalisasi
pemerintah kolonial terhadap segala bentuk pemerasan seperti luas tanah yang
diusahakan pemerintah tidak terbatas, wajib kerja penduduk melebihi
ketentuan yang telah ditetapkan, tanaman wajib, pajak-pajak, dan kerja wajib
tidak dihapus. Sementara hasil dari kebijakan cultuur stelsel sangat
memuaskan dan menguntungkan pemerintah Belanda.(Kartodirdjo, 1990: 15).
Pada tahun 1848, Sistem Tanam Paksa mendapat kritikan melalui
perdebatan di Parlemen Belanda. Perdebatan terjadi antara golongan liberal
dengan golongan konservatif, seputar evaluasi penerapan sistem tanam paksa
di Hindia Belanda. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan
memberikan keuntungan kepada negeri induk apabila masalah-masalah
perekonomian diserahkan kepada pihak swasta. Dengan demikian, pemerintah
kolonial hanya memungut pajan dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Pemerintah tidak perlu campur tangan dalam urusan perdagangan hasil bumi
di tanah jajahan. Berbeda dengan kaum liberal, kaum konservatif tetap
berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberikan keuntungan kepada
negeri induk apabila urusan ekonomi ditangani langsung oleh pemerintah.
Pemerintah harus campur tangan dalam pemungutan hasil bumi di tanah
jajahan. Bagi kaum konservatif, Hindia Belanda dianggap belum siap untuk
menerima kebijakan politik liberal. Dari perdebatan kedua golongan tersebut,
golongan liberal menang dan dapat meluruskan sistem pemerintahan di tanah
koloni. Dua orang sebagai pembela nasib penduduk koloni adalah Douwes
Dekker dan Baron Van Hoevell. Dalam mkaryanya yang berjudul “Max
Havelar”, Douwes Dekker membentangkan kekejaman sisten tanam paksa.
Sementara Fransen Van Der Putte juga menulis Zuker Contracten, yang juga
banyak mengkritik ketidakadilan dalam sistem tanam paksa.
Berkat kecaman dan kegigihan kaum liberal tersebut, maka
pemerintah Hindia Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, melainkan
tidak sekaligus melainkan secara bertahap atau berangsur-angsur. Proses
penghapusan sistem tanam paksa secara bertahap yakni: pertama kali
penghapusan sistem tanam paksa lada pada tahun 1860. Penghapusan tanam
paksa untuk eh dan nila pada tahun 1865, dan pada tahun 1870 hampir semua
jenis tanaman paksa sudah dihapuskan, kecuali tanaman paksa kopi di
priangan.

D. Cultur Stelsel Di Luar Jawa

Selain di Jawa, cultuur stelsel juga dijalankan di luar Pulau Jawa
meskipun dalam skala yang tidak sebanding dengan di pulau Jawa. Sejak
tahun 1822 di Minahasa telah dilaksanakan cultuur stelsel untuk tanaman
kopi. Sistem tanam paksa di daerah ini berlangsung cukup lama, sampai
dihapuskannya pada tahun 1899. Sementara di Sumatera Barat pada tahun
1847 pasca Perang Padri, juga diselengarakan cultuur stelsell untuk tanaman
kopi yang baru dihapus pada tahun 1908. Sedangkan di Madura juga
dijalankan cultuur stelsel untuk tanaman tembakau. Di samping itu, di Maluku
juga sistem ini dijalankan bahkan sejak masa VOC, yakni untuk tanaman
cengkeh di Kepulauan Ambon, dan pala di kepulauan Banda. Sistem tanam
paksa di kepulauan Maluku ini baru dihapuskan pada tahun 1860. Dengan
demikian, meskipun secara umum dikatakan bahwa sistem tanam paksa
berlangsung dari tahun 1830-1870, tetapi dalam praktek yang sesungguhnya
bahwa sistem tersebut telah berlangsung jauh sebelum tahun 1830, dan
berakhir secara total pada awal abad ke-20. Ini dapat dijadikan referensi baru
bahwa melihat sejarah tanam paksa harus ditampilkan secara utuh mengingat
kompleksnya kajian sistem ini baik secara makro maupun mikro.
Pada masa VOC, Minahasa telah terkait dengan pola-pola pelayaran
niaga VOC yakni sebagai daerah pemasok beras. Kewajiban sebagai pemasok
beras ini beru dihentikan pada tahun 1852. Sementara itu di daerah ini
pemerintah Hindia Belanda telah menerapkan sistem tanam paksa semenjak
tahun 1822. Daerah yang paling cocok untuk budi daya kopi waktu itu adalah
di Dataran Tinggi Tondano yang sesuai dengan ekologi kopi. Wilayah
tersebut merupakan bagian dari Minahasa yang penduduknya tergolong padat.
Dengan potensi tenaga kerja yang banyak di wilayah ini, maka sangat
memungkinkan untuk dilakukan mobilisasi tenaga kerja secara tradisional
baik yang diperlukan untuk penanaman kopi itu sendiri, maupun untuk
membangun prasarananya. Tanaman kopi lebih banyak dibudidayakan di
distrik Romboken dan meluas ke distrik-distrik sekitarnya seperti Tomohon,
Kawanokoan, dan Sonder (Schouten, 1993: 51-72).
Untuk pembudidayaan kopi, lahan-lahan yang dimanfaatkan adalah
tanah kalekeran, yaitu suatu tanah milik distrik yang kosong dan tidak digarap
oleh penduduk karena keadaan tanahnya kurang baik untuk kebun atau
persawahan. Pembukaan lahan-lahan kalekeran ini sangat memberatkan
penduduk karena letaknya yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Dalam
hal lain upah yang diberikan juga tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka.
Setiap pikol pemerintah Belanda hanya membayar f 10, padahal setiap
keluarga hanya dapat menghasilkan satu pikol belum lagi dengan adanya
kecurangan-kecurangan yang dijalankan oleh para petugas lapangan dalam
menimbang kopi. Dalam hal lain, penduduk juga dibebani oleh biaya
pengangkutan, dimana pengangkutan kopi ke gudang-gudang pemerintah
yang berada di wilayah pantai cukup jauh, padahal mereka harus dengan
memikulnya. Baru sejak tahun 1851 pemerintah membuka gudang-gudang di
daerah pegunungan, sehingga pekerjaan penduduk menjadi lebih ringan.
Sedangkan pengangkutan dari gudang-gudang pegunungan ke gudang-gudang
di daerah pantai dilakuna oleh para pekerja yang diberi upah (Leirissa, 1996:
62).
Namun demikian, dalam rangka memperlancar proses pengangkutan
kopi, penduduk tetap terbebani untuk membangun prasarana yang terkikat
secara tradisional. Maka semenjak tahun 1851 jalan-jalan dan jembatan
penghubung daerah pegunungan dengan daerah pantai mulai dibangun. Dalam
pelaksanaannya, penduduk diharuskan bekerja secara bergiliran dan sukarela
tanpa upah. Sehingga sewaktu-waktu, mereka harus siap dipanggil untuk
bekerja dalam pembuatan sarana dan prasarana. Pada umumnya mereka
dipimpin oleh pemimpin tradisional mereka yaitu para kepala walak yang
memiliki otoritas tradisional untuk memerintah setiap warga yang berada di
bawah pimpinannya. Pekerjaan tersebut seringkali membawa kesengsaraan
kepada rakyat karena letak proyek-proyek tersebut jauh dari desa tempat
tinggal mereka, atau dapat pula pada lokasi-lokasi yang sangat sulit, sehingga
mengancam keselamatannya. Pekerjaan unum tersebut juga sangat
membebankan dan memberatkan karena pada suatu ketika penduduk harus
memanen tanaman untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, mereka dapat
panggilan untuk kerja bakti membangun sarana umum tersebut.
Jika dibandingkan dengan kopi Jawa, baik dari segi ekonomi maupun
kualitas, hasilnya tidak terlalu rendah. Bahkan banyak para pejabat Belanda
yang secara langsung mengakui bahwa Kopi Menado jauh lebih baik
ketimbang Kopi Padang. Malahan pada bagian kedua abad ke-19 Kopi
Menado sempat mengungguli Kopi Jawa. Namun demikian dari segi
kuantitas, produksi Minahasa jauh lebih rendah dibanding Kopi Padang yang
rata-rata menghasilkan 191.000 pikul setiap tahun. Sedangkan Kopi Jawa
lebih benyak lagi yakni dapat mencapai 2 juta pikul setiap tahunnya. Namun
demikian, Minahasa telah memiliki sejarah sosial yang cukup berperan dalam
pengayaan sejarah nasional, terutama masa diterapkannya sistem tanam paksa.
Semenjak tahun 1820 hingga tahun 1840, di Minangkabau kopi telah
dibudidaya secara perorangan sebelum diberlakukannya cultuur stelsel.
Sebagaimana halnya di Minahasa, di Minangkabau juga penanaman kopi
dilakukan di daerah-daerah pegunungan. Lahan-lahan yang dipakai juga
dalam kategori lahan tidur yang kurang produktif untuk pertanian lain. Karena
sebagian besar kopi ditanam di daerah daerah pegunungan terutama lahanlahan
yang berada dalam kawasan hutan, maka kopi Minangkabau lebih
sering dekenal sebagai “kopi hutan”. Seperti halnya di Minahasa, di
Minangkabau juga penduduk dibebani dengan kerja tanpa upah untuk
membangun sarana-sarana terutama jalan-jalan dan jembatan untuk keperluan
pengangkutan kopi dari daerah pegunungan ke Padang. Sementara para
pemimpin tradisional yang bertugas menggerakkan penduduk adalah para
penghulu, sehingga dengan ikatan tradisional tersebut penduduk patuh pada
atasannya.
Dalam penelitian Prof. Kenneth Young, disimpulkan beberapa
penyebab atau faktor pendorong keberhasilan budi daya tanam kopi di
Minangkabau. Pertama adalah kebijakan mengenai pemberian upah yang
tidak membingungkan para petani, karena telah diatur dengan jelas. Harga per
pikul ditetapkan f 20 atau sekitar 32 sen per kg, dan setelah dipotong berbagai
ongkos yang harus dibayar, petani menerima f 4 per pikul atau 5 sen per kg.
Kedua tersedianya tenaga kerja yang cukup banyak yang dapat dikerahkan
untuk keperluan penerapan budibaya tanam kopi tersebut. Ketiga adalah
adanya tradisi dagang yang telah tertanam dan menjiwai masyarakat
Minangkabau yang menyebabkan orang terdorong untuk menjalankan
pekerjaan yang menghasilkan uang (Young, 1988: 136-164).
Young dalam penelitiannya juga menyimpulkan sebab-sebab
kegagalan dari penerapan sistem ini. Pertama adalah habisnya lahan pertanian
yang cocok untuk budi daya kopi sehingga tidak dapat dilakukan ekspansi
secara terus menerus. Kedua adalah munculnya penyakit tanaman kopi yang
sulit untuk di atasi, sehingga produksi semakin berkurang. Ketiga Perang
Aceh yang berlangsung relatif lama sehingga banyak menguras perhatian
pemerintah Belanda untuk menanganinya, sementara budidaya kopi menjadi
kurang diperhatikan. Keempat adalah cara-cara pengelolaan yang kurang baik
karena terbiasa dengan pola budidaya perseorangan yang telah berlangsung
sebelum cultuur stelsel diterapkan.
E. Kritik Terhadap Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut
setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), dan
Perang Padri di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jenderal Van den
Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur
Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong,
atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai
40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke
Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian
tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari
kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang
pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih
banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah
sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan
pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi,
teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung,
dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar
biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri,
melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda.
Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman
dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang
dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung,
Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional
Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handels
Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun
melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa
Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa
yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di
Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi
diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Cultuurstelsel ternyata membawa keuntungan yang sangat besar bagi
para pemegang saham Nederlandsche Handel-Maatschappij dan tentunya juga
raja Belanda- di negeri Belanda, Pemerintah Belanda serta pemerintah India
Belanda. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan ekspor dari India-Belanda,
terutama ke Eropa. Ekspor tahun 1830 hanya berjumlah 13 juta gulden, dan
tahun 1840 ekspor meningkat menjadi 74 juta gulden. Penjualan hasil bumi
tersebut dilakukan oleh NHM; keuntungan yang masuk ke kas Belanda -antara
1830 sampai 1840- setiap tahun sekitar 18 juta gulden, ini adalah sepertiga
dari anggaran belanja Pemerintah Belanda.
Seorang mahasiswi Belanda, Annemare van Bodegom, pada tahun
1996 mengadakan penelitian untuk menyusun skripsinya. Ia menyoroti
periode antara 1830 –awal diterapkannya cultuurstelsel oleh Gubernur
Jenderal Johannes Graaf van den Bosch (1830-1833)- sampai tahun 1877.
Keuntungan yang diraup Belanda –yang dinamakan batig slot atau surplus
akhir- mencapai 850 juta gulden, yang antara lain digunakan untuk membiayai
pembangunan infrastruktur di Belanda seperti jalan kereta api, saluran air dll.
Di sisi lain, cultuurstelsel ini membawa kesengsaraan dan bahkan kematian
rakyat yang dijajah. Antara tahun 1849-1850 saja, tercatat lebih dari 140.000
orang pribumi meninggal sebagai akibat kerja dan tanam paksa. Apabila nilai
850 juta gulden dihitung dengan indeks tahun 1992, maka nilainya setara
dengan 15,4 milyar gulden. Tak dapat dibayangkan, berapa keuntungan yang
diraup oleh Belanda dari Indonesia antara 1602-1942 apabila dihitung dengan
indeks tahun 2002.
Di atas kertas, teori Cultuurstelsel memang tidak terlalu
memembebani rakyat, namun dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel yang
sangat menguntungkan Belanda, terbukti sangat merugikan petani terutama di
Jawa dan mengakibatkan kesengsaraan dan kematian bagi rakyat banyak,
sehingga cultuurstelsel tersebut lebih dikenal sebagai sistem tanam paksa,
karena petani diharuskan menanam komoditi yang sangat diminati dan mahal
di pasar Eropa, yang mengakibatkan merosotnya hasil tanaman pangan
sehingga di beberapa daerah timbul kelaparan, seperti yang terjadi di Cirebon
tahun 1844, di Demak tahun 1848 dan di Grobogan tahun 1849.
Sejak 1840, selama 60 tahun berikutnya nilai ekspor dari India-
Belanda ke Belanda meningkat 10 kali lipat, dari 107 juta gulden menjadi 1,16
milyar gulden. Selama kurun waktu itu, juga terjadi perubahan komoditi
ekspor; selain kopi, teh, gula dan tembakau, yang masih terus diekspor, kini
ekspor bahan baku untuk industri seperti karet, timah dan minyak, menjadi
lebih dominan. Seiring dengan perkembangan ekspor dan jenis ekspor, titik
berat perkebunan pindah ke Sumatera Timur, di mana didirkan perkebunanperkebunan
besar, terutama untuk tembakau dan karet.
Selain monopoly perdagangan komoditi “normal”, ternyata Belanda
juga memperoleh keuntungan besar dari perdagangan opium (candu), yang
kemudian juga dimonopoli oleh VOC dan penerusnya, Pemerintah India-
Belanda. Semula impor opium dari Bengali pada tahun 1602 hanya sebanyak
satu setengah peti, meningkat menjadi 2.000 peti pada tahun 1742.
Keuntungan per peti dapat mencapai 1.800 sampai 2.000 gulden, dan agar
penjualannya terjamin, Belanda juga mendorong pribumi untuk
mengkonsumsi opium. Pada akhir abad 19, Konsulat Belanda di Singapura
melaporkan, ekspor candu dari Bengali ke India-Belanda mencapai hampir
3.700 peti.
Ewald van Vugd, seorang wartawan dan penerbit berkebangsaan
Belanda, pada 1985 menyoroti politik perdagangan opium Belanda yang
dipaparkan dalam bukunya Wetig Opium. Menurut van Vugt, candu mulai
menjadi sumber penghasilan utama Belanda sejak tahun 1743. Antara tahun
1848-1866, laba perdagangan candu mencapai 155,9 juta gulden, yakni 8,2 %
pemasukan total dari tanah jajahan, dan kontribusi pemasukan dari jajahan
Belanda terhadap seluruh anggaran Belanda sebesar 12,5%! Antara tahun
1860-1915, laba candu meningkat 15 persen per tahun. Laba candu antara
1904-1940 sebesar 465 juta gulden! Tak heran apabila van Vugt tahun 1988
menerbitkan buku dengan judul yang menggemparkan, yaitu Het dubbele
Gezicht van de Koloniaal (wajah ganda dari penjajahan), yang memuat sisi
negatif penjajahan Belanda, seperti pedagangan candu, perdagangan budak,
kerja paksa, kekerasan senjata dll.
Demikianlah wajah penjajahan Belanda waktu itu, demi keuntungan
materi untuk para tuan besar, mereka mengorbankan rakyat di jajahan mereka,
bahkan secara sistematis merusak mental dan kesehatan rakyat dengan
menganjurkan untuk mengisap candu. Tidaklah mengherankan apabila
sekarang keluarga kerajaan Belanda termasuk keluarga paling kaya di dunia
dan Belanda termasuk salah satu negara termakmur di Eropa Barat, berkat
perdagangan budak, perdagangan candu, tanam paksa dan berbagai praktek
pelanggaran HAM. Hal-hal yang sangat tidak manusiawi seperti ini, telah
menggerakkan hati beberapa orang Belanda yang humanis, seperti Eduard
Douwes Dekker, yang kemudian melancarkan kritik terhadap politik
Pemerintah India-Belanda melalui berbagai tulisan, juga dalam bentuk roman
dengan nama “Max Havelaar”, yang ditulis pada tahun 19860.
Namun kritikan yang dilontarkan tersebut tidak menyurutkan
Pemerintah Kolonial Belanda untuk membuat berbagai peraturan untuk
menakut-nakuti rakyat jajahannya yang berniat membangkang. Pada tahun
1880 diberlakukan peraturan yang dinamakan Poenale Sanctie, yaitu peraturan
yang memuat ancaman hukuman badan (kurungan dan pukulan) bagi kuli-kuli
yang melanggar peraturan kerja. Tujuan utama Poenale Sanctie adalah
menjamin tenaga buruh bagi majikan, juga membatasi kemerdekaan buruh
untuk meninggalkan perkebunan tempat bekerja. Mohammad Hatta menunjuk
buku tulisan H.F. Tillema yang berjudul “Kromo Belanda” yang berisi
keluhan dan pengaduan tentang bagaimana Pemerintah Belanda melalaikan
kesehatan rakyat. Hatta menunjukkan keadaan buruk di kalangan buruh,
misalnya bahwa seorang kuli (buruh) di Sumatera dipaksa bekerja dengan
kekerasan dan diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan Belanda.
Pukulan-pukulan dengan rotan, penahanan melawan hukum, penelanjangan
buruh yang dianggap salah oleh majikan merupakan kebiasaan pada waktu
itu.
Poenale Sanctie yang kejam dan tidak berperikemanusiaan menambah
kesengsaraan rakyat Indonesia, dan memperpanjang daftar pelanggaran HAM
oleh Belanda, serta meningkatkan kemarahan dan kebencian di kalangan
bangsa Indonesia. Pers dan para pemimpin bangsa Indonesia mengecam
Poenale Sanctie ini. Setelah gencar kritik dan kecaman di negeri Belanda
sendiri, baru pada tahun 1924 Majelis Rendah Belanda mengajukan protes
atas Poenale Sanctie tersebut, namun Poenale Sanctie baru dicabut tahun
1941, ketika Perang Dunia di Eropa telah dimulai dan ancaman Jepang di Asia
telah di depan mata.

P E N U T U P

Tidak salah lagi Sistem Tanam Paksa yang diterapkan di Hindia
Belanda telah mendatangkan perubahan sosial masyarakat baik secara makro
maupun mikro. Pada pokoknya, Sistem Tanam Paksa merupakan
penghisapan dan pemerasan secara brutal yang dikelola oleh orang-orang yang
tamak dan haus akan kekuasaan, yang nilai-nilainya dibentuk oleh
latarbelakang kebudayaan masing-masing. Sistem Tanam Paksa menjalankan
suatu tipu muslihat pada lingkungan sosio-ekonomi secara lebih canggih dan
rumit. Dalam membahas Sistem Tanam paksa, akan lebih komprehensif
apabila dikaji tidak secara tradisional, agar berbagai aspek yang menyertai
dilaksanakannya sistem dapat teungkap. Karena jika tidak, maka gambaran
utuh dari sistem ini tidak akan ditemukan. Namun demikian secara riil adalah
tidak dapat diabaikan bahwa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
mengkondisikan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Adanya pembentukan modal. Aspek ini tidak dapat
disangkal oleh peneliti manapun bahwa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
telah menimbulkan permodalan di Hindia Belanda. Pembentukan modal yang
merupakan aspek dari sejarah kolonial yang terutama melibatkan orang-orang
Eropa dan Cina, ketimbang bangsa Indonesia sendiri, bahwa modal
perusahaan di Eropalah yang menyebabkab terpecah-pecahnya Sistem Tanam
Paksa yang diawasi oleh pemerintah itu. Pembentukan modal yang utama,
yang bedampak pada meluasnya tanam paksa di Jawa, terjadi di Jawa sendiri,
dan kondisi tersebut terjadi selama berjalannya Sistem Tanam Paksa dan
merupakan bagian dari Sistem Tanam Paksa tersebut.
Kedua adanya tenaga buruh yang murah yang menandai kehidupan di
Jawa yang telah lama berlangsung jauh sebelum Sistem Tanam Paksa
diterapkan. Rakyat kelas bawah sudah menjadi tradisi bekerja wajib untuk
para pemimpin tradisional yang memiliki otoritas tradisional sebagai
pemimpin dalam masyarkatnya. Hubungan-hubungan ketergantungan di
samping adanya perbudakan dalam kebanyakan hal, merupakan kunci yang
menentukan dari perbedaan-perbedaan sosial dalam masyarakat.
Ketiga ekonomi pedesaan yang berubah selama penerapan Sistem
Tanam Paksa dan sesudahnya. Struktur politik dan ekonomi pedesaan yang
selama abad ke-19 menunjukkan kenyataan-kenyataan sosial-ekonomi dari
kehidupan orang-orang Jawa, dengan mengubah hasil panen dan tenaga buruh
yang murah menjadi pengaturan fungsional. Desa-desa merupakan sumber
dari mana tenaga buruh dan hasil pertanian ditarik, walaupun hanya dari
beberapa penduduk desa. Pada awal abad ke-19, golongan atas di pedesaan
Jawa menjadi lebih kuat karena penunjukkan tugas-tugas dan kewenangankewenangan
baru yang memungkinkan para kepala desa dan para kroninya
yang memiliki otoritas atas pengawasan lahan, tenaga buruh dan hasil
pertanian sampai ke tingkat yang lebih besar daripada yang yang pernah
terjadi sebelumnya.

KEPUSTAKAAN

Anne Booth, William J.O’Malley, Anna Weidemann (ed), 1988. Sejarah
Ekonomis Indonesia. Jakarta: LP3ES.
23
Ardiansyah, Syamsul. Cultuur Procenteen.
Hutagalung, B.R., Batig Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan
Opium oleh Pemerintah India-Belanda.
Robert Van Niel, 1992. Java Under the Cultivation System: Collected
Writings. Leiden: KITLV Press.
R.E. Elson, 1978. The Cultivation System and ‘Agricultural Involution’.
Melbourne: Monash University.
C. Fasseur, 1975. Kultuurstelsel en Koloniale Baten: De Nederlandse
Exploitatie Van Java 1840-1860. Leiden: University Press.
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Tentang Penulis
Zulkarnain. Lahir di sumbawa Besar, 9 Agustus 1974. Menamatkan
Pendidikan S2 Pendidikan sejarah Univ.Jakarta. Saat ini berprofesi sebagai
tenaga pengajaran di Program Studi Pendidikan Sejarah FISE Universitas
Negeri Yogyakarta dan mengampu mata kuliah Sejarah Ketatanegaraan.

SEJARAH INDONESIA BARU


PERGANTIAN KEKUASAAN DI INDONESIA
TAHUN 1800

A. Kardiyat Wiharyanto
A. Pendahuluan

Masa penjajahan Belanda di Indonesia dapat dibagi dalam dua
periode yaitu periode tahun 1602 sampai 1799, dan periode tahun 1800
sampai 1942. Periode pertama yaitu antara tahun 1602 sampai 1799,
Indonesia di bawah persekutuan dagang Belanda. Persekutuan dagang
itu dibentuk tahun 1602, dan merupakan hasil penyatuan atau merger
beberapa serikat dagang di Belanda. Serikat dagang ini bernama
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Kepada serikat dagang ini, pemerintah Belanda memberikan
hak-hak istimewa. Hak istimewa tersebut antara lain hak monopoli
perdagangan, hak mencetak uang sendiri, hak mengumumkan perang,
dan hak untuk membuat perjanjian dengan penguasa lain. Dengan
status seperti sebuah negara ini, VOC memiliki otonomi sendiri untuk
bertindak. Untuk mendukung otonomi tersebut, VOC dilengkapi
dengan pasukan bersenjata.
Di Indonesia, VOC pertama kali berpusat di Ambon. Gubernur
Jenderal pertamanya adalah Pieter Both. Di bawah kepemimpinannya,
VOC berhasil menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Namun, itu belum cukup bagi VOC sebab Malaka sebagai pusat
perdagangan di Asia Tenggara masih dikuasai Portugis. Oleh karena itu,
untuk menyingkirkan Portugis, Pieter Both merasa perlu memindahkan
pusat kegiatan VOC dari Ambon ke Jayakarta.
Ketika itu Jayakarta dikuasai Banten. Jayakarta dipilih karena
Portugis telah mendirikan kantor perdagangannya di sana. Selain itu,
letaknya strategis di jalur perdagangan Asia. Setelah mendapat
persetujuan dari Pangeran Jayakarta, VOC mendirikan kantor
dagangnya di Jayakarta. Mereka juga mendirikan benteng bernama
Batavia. Perpindahan pusat VOC ke Jayakarta terjadi pada masa
Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.
Kehadiran VOC di Jayakarta tentu membawa akibat persaingan
antara VOC dan Portugis. Namun dengan kelicikannya, VOC berhasil
mempengaruhi penguasa Banten untuk mencabut hak dagang Portugis
Drs. A.K. Wiharyanto, M.M., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan
Sejarah, FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
di wilayahnya. Sejak tanggal 31 Mei 1619, VOC memperoleh hak
monopoli penuh atas Jayakarta. Sejak saat itu pula nama Jayakarta
diganti Batavia.
Dari Batavia, VOC terus memperluas pengaruhnya ke wilayah
lain di Indonesia. Dengan kelicikan dan kekuatan militernya, VOC
akhirnya menjadi satu-satunya serikat dagang Eropa yang bisa
menguasai hampir seluruh wilayah nusantara. Perluasan pengaruh
politik VOC umumnya dilakukan dengan perjanjian-perjanjian yang
mengikat. Perjanjian ini dicapai setelah ada konflik, yaitu antara VOC
dengan penguasa setempat, antarpenguasa (salah satu penguasa
kemudian minta bantuan VOC), atau antara VOC dengan serikat
dagang Eropa lainnya.
Sejak menguasai perdagangan di Indonesia, sebenarnya VOC
terus menerus menghadapi perlawanan dari rakyat. Perlawanan
pertama dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram, kemudian Sultan
Hasanudin dari Makasar, Sultan Ageng dari Banten, Untung Suropati,
Trunojoyo, Raden Mas Said, dan Pangeran Mangkubumi. Akibatnya
beban VOC dari waktu ke waktu bertambah berat, sehingga tidak
mampu lagi menjalankan pemerintahannya di Indonesia. Akhirnya
sekitar tahun 1800 terjadi peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengetahui sekitar pergantian kekuasaan di
Indonesia tahun 1800, maka pada bagian berikut akan dibahas tentang
latar belakang terjadinya pergantian kekuasaan, dan kondisi Indonesia
setelah terjadi pergantian kekuasaan tahun 1800.
B. Latar Belakang Terjadinya Pergantian Kekuasaan
Seperti diungkapkan di atas bahwa bangsa Belanda datang ke
Indonesia untuk berniaga. Mula-mula terdapat beberapa kongsi dagang
yang menyediakan kapal-kapal, akan tetapi dalam tahun 1602 telah
didirikan suatu Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yaitu
gabungan kongsi-kongsi dagang yang berlayar ke Indonesia atau
Kongsi Dagang India Timur.1 Tujuan pokoknya adalah mencari untung
yang sebesar-besarnya.
Setelah berjalan lebih dari satu setengah abad, ternyata
keuntungan yang diperoleh semakin kecil , kasnya semakin menipis,
sedang anggaran belanja VOC semakin besar. Keadaan tersebut tidak
semakin bertambah baik tetapi justru semakin merosot. Itulah sebabnya
1 Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia, dari Segi Sosiologi Sampai
Akhir Abad XIX, Jakarta, Pradnya Paramita, 1984, hal. 60.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
VOC akhirnya membubarkan diri pada tanggal 31 Desember 1799.2
Adapun sebab-sebab jatuhnya VOC itu adalah:
1. Sistem monopoli VOC dengan akibat-akibat yang merugikan.
Tujuan monopoli dagang ini adalah untuk memperoleh
keuntungan sebanyak mungkin dari perdagangan. Karena VOC
merupakan sebuah persekutuan dagang yang terdiri dari para
pedagang dan pemegang saham, maka mereka sama sekali tidak
memperhatikan kehidupan atau membuat kebaikan terhadap oarngorang
pribumi. Sistem perdagangan seperti itu melemahkan
perdagangan dan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Akibat pemerintah Belanda tidak memperhatikan nasib rakyat
jajahan, maka penduduk pribumi menjadi sangat miskin dan bodoh.
Mereka tidak mampu membeli barang-barang produksi yang dijual oleh
Belanda. Bahkan tidak jarang penduduk pribumi tidak mampu membeli
beras dan bahan-bahan makanan lainnya yang akan dijual oleh Belanda.
Beberapa kebijaksanaan Belanda yang menyebabkan orangorang
Indonesia terus miskin:
a. Membeli murah, menjual mahal.
Belanda selalu membeli hasil bumi orang-orang Indonesia
dengan harga murah, sedangkan bahan-bahan makanan, kain dan
barang-barang lain dijual mahal kepada penduduk. Hal ini
menyebabkan penduduk tanah jajahan terlalu miskin untuk membeli
barang-barang kebutuhan pokok itu. Belanda menjalankan sistem
pembelian dan penjualan ini dengan tujuan untuk memperoleh barangbarang
yang lebih banyak dibanding barang-barang yang dijualnya.
b. Menjaga jumlah barang yang dimonopoli.
Belanda terus berusaha menjaga barang-barang yang dimonopoli
supaya harganya tidak merosot. Peraturan itu mereka jalankan agar
permintaan pasar dan harga tetap seimbang. Jika permintaannya tinggi,
maka pengeluaran dilebihkan dengan syarat harganya tidak jatuh.
Biasanya hasil yang berlebihan dikurangi dengan menebang dan
memusnahkan pohon-pohon, membakar atau mengubur hasil-hasil
yang berlebihan itu supaya harganya tetap tinggi. Misalnya, jika kopi
atau lada sangat dibutuhkan di Eropa, maka orang-orang Indonesia
akan dipaksa menanam lebih banyak pohon-pohon kopi dan lada.
Tanaman-tanaman ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
2 Gilbert Khoo, Sejarah Asia Tenggara Sejak tahun 1500, Kulalumpur, Penerbit
Fajar Bakti SDN.BHD., 1976, hal. 19.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
berbuah. Tetapi apabila sampai waktu bagi tanaman-tanaman ini
berbuah, permintaan terhadapnya mungkin sudah jatuh. Kalau hal itu
terjadi dan gudang-gudangnya masih penuh, maka kopi dan lada yang
berlebihan itu akan dimusnahkan untuk mempertahankan harganya di
Eropa. Sementara itu harga yang dibayar kepada penanam-penaman di
Indonesia dikurangkan pula. Orang-orang Belanda itu sendiri pun tidak
banyak mendapat faedah dari kebijaksanaan monopolinya itu sebab
mereka tidak dapat melakukan monopoli secara optimal. Pedagangpedagang
Arab dan Inggris membanjiri pasar-pasar di Indonesia
dengan kain-kain yang jauh lebih murah dari pada kain-kain Belanda.
Hal ini menyebabkan harga barang-barang yang dijual Belanda menjadi
sangat murah.
Pada pertengahan abad ke-18 barang-barang Belanda dijual
dengan lebih mahal di pasarnya sendiri. Jika kekuasaan Inggris semakin
kuat di India, maka mereka akan memperluas perdagangannya ke
Indonesia pula. Sebelum abad ke-18 berakhir, Belanda terpaksa
mengakui bahwa sistem monopolinya telah gagal.3
c. Kerjapaksa, penyelundupan dan perompakan di laut.
Agar bisa mengontrol secara ketat terhadap hasil yang
berlebihan serta memperoleh tenaga yang murah, maka Belanda
menganut cara pemerintahan di kerajaan-kerajaan tradisional di
Indonesia, yaitu kerja paksa. Kerja paksa yang berlebihan, misalnya
tempatnya jauh dan membutuhkan waktu yang lama, menyebabkan
para petani tidak mungkin mengerjakan tanahnya sendiri. Sewaktu
melakukan kerja paksa itu, para petani itu masih menyediakan
makanannya sendiri, namun juga pernah menerima rangsum dari
pemerintah Belanda.
Monopoli Belanda itu juga menyebabkan terjadinya
penyelundupan dan perompakan di laut. Kedua peristiwa itu sangat
merugikan perdagangan Belanda. Keuntungan yang diperoleh dari
penyelundupan itu sangat besar dibanding dengan bahaya yang
dihadapi. Di sisi lain, angkatan laut Belanda tidak mungkin mengawasi
seluruh perbatasan laut dalam waktu yang sama. Ini berarti bahwa
angkatan laut Belanda tidak cukup untuk mengawal monopoli Belanda.
Biasanya para penyelundup itu juga bertindak seperti bajak laut
yang merompak kapal-kapal Belanda dan merampok kapal-kapal
dagang Indonesia. Belanda kewalahan menghadapi masalah ini karena
angkatan laut Belanda sangat terbatas.
3 Clive Day, The Dutch in Java, Kualalumpur,Offord University Press, 1966, hal. 51.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
d. Menjaga monopoli terhadap tanaman-tanaman.
Di samping menjaga stok barang, Belanda juga menjaga
tanaman-tanaman agar hasilnya tidak melebihi permintaan pasar,
terutama tanaman rempah-rempah di Maluku, gula dari Jawa dan lada
dari Aceh. Untuk menjaga tanaman rempah-rempah di Maluku, Belanda
melakukan pelayaran Hongi yaitu pelayaran bersenjata untuk
memusnahkan tanaman-tanaman rempah-rempah yang dianggap
melanggar aturan.
Di samping biaya pengawasan juga mahal dan menimbulkan
dendam dari penduduk yang dirusak tanamannya, di sisi lain Perancis
dan Inggris menggalakkan penanaman pohon-pohon tersebut di tanah
jajahan mereka. Tidak lama kemudian Sri Lanka dan di India sudah
menghasilkan kayu manis dan bunga cengkih untuk orang-orang
Inggris. Sedangkan tempat pengumpulan rempah-rempah Inggris di
Bangkahulu dapat memperoleh rempah-rempah dari pedagangpedagang
setempat. Dengan demikian VOC sekali lagi mengalami
kerugian.4
2. Cara kerja yang tidak efektif dan efisien.
Pada mulanya VOC itu dimaksudkan sebagai badan
perdagangan semata-mata. Ada bukti yang menunjukkan bahwa ketika
VOC betul-betul menjalankan usaha perdagangan, VOC mendapat
keuntungan yang secukupnya. Tetapi setelah VOC itu berubah menjadi
badan pemerintah, maka anggaran pemerintahan atas seluruh wilayah
kekuasaannya melebihi keuntungan yang diperoleh. Oleh karena
susunannya tidak baik, maka timbullah beberapa keburukan yang
menyebabkan kerugian yang besar. Pegawai-pegawainya diangkat
berdasarkan keinginan para pejabat VOC sehingga tidak berdasarkan
profesinya.
Pegawai-pegawai yang tidak the raight man on the raight place
tersebut hanya diberi gaji kecil dan diberi kesempatan untuk
memperoleh tambahan gaji secara tidak resmi. Akibatnya terjadilah
perdagangan pribadi dari pegawai yang paling rendah sampai
Gubernur Jenderal.
Sementara pegawai-pegawai dan pejabat-pejabat VOC
memperoleh banyak penghasilan, namun tidak seperti halnya dengan
rakyat jajahan. Bagi pejabat VOC yang penting adalah bisa bersahabat
dengan raja-raja setempat supaya memperoleh monopoli perdagangan.
4 Gilbert Khoo, op. cit., hal. 20.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
Itulah sebabnya perlawanan rakyat Indonesia tidak henti-hentinya
sambung-menyambung mulai dari perlawanan Sultan Agung, Sultan
Hasanudin, Trunajaya, Sultan Ageng, Untung Surapati, Raden Mas Said,
dan Pangeran Mangkubumi.
Dengan adanya perlawanan dan penaklukan daerah-daerah baru
menyebabkan kas VOC semakin berkurang. Namun gaji yang rendah
juga mendorong terjadinya korupsi besar-besaran sehingga keuntungan
VOC semakin habis. Jadi, para pegawai VOC semakin memperkaya diri
sementara keuntungan VOC hanya cukup untuk mempertahankan
kongsi dagang tersebut.
Ada beberapa cara bagi para pegawai VOC untuk memperkaya
diri, yaitu:
a. Karena jabatan-jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi
dapat dibeli, maka pegawai-pegawai VOC itu dapat memegang
dua jabatan atau lebih supaya gajinya lebih besar.
b. Pegawai-pegawai VOC menjual barang-barang kepada VOC
dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga yang dibayar
kepada orang Indonesia.
c. Mereka mencuri barang-barang dari gudang-gudang VOC dan
membagi-bagikan barang-barang yang akan dikirim itu kepada
sesama pegawai VOC.
d. Sewaktu akan mengirim barang, timbangan-timbangan dilakukan
secara tidak betul sehingga terjadi sisa barang yang kemudian
dijadikan milik pribadi.
e. Para pegawai itu berdagang barang-barang seperti beras dan
candu yang telah ditetapkan oleh VOC sebagai barang-barang
dagangan monopoli VOC.
f. Mereka memungut sumbangan dari orang-orang Indonesia.
g. Mereka menerima tips untuk pertolongan yang mereka berikan,
walaupun sebenarnya itu tugas mereka.
h. Mereka mempergunakan kemudahan-kemudahan VOC untuk
menjalankan perdagangan pribadi.
i. VOC mendapat bagian dari sisa-sisa yang telah dikorupsi oleh
para pegawai. Pegawai-pegawai itu bersekongkol dengan orangorang
Indonesia untuk mengelabui VOC.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
3. Saingan Perdagangan
Mula-mula Belanda menghadapi persaingan Portugis dan
Inggris. Perdagangan Portugis akhirnya dapat dilumpuhkan, sehingga
tinggal berbentuk perdagangan perorangan dan tidak membahayakan
lagi. Sedangkan Inggris yang pada awalnya dapat didesak, namun
karena menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, maka akhirnya
justru menjadi pesaing Belanda yang utama dari Eropa.
Pedagang-pedagang Inggris dan pedagang-pedagang Asia dapat
masuk ke kawasan-kawasan perdagangan VOC. Mereka menawarkan
harga-harga barang yang lebih murah, sehingga membahayakan
perdagangan Belanda. Karena itu Belanda berusaha keras agar Inggris
tidak memiliki wilayah perdagangan di Indonesia, akibatnya baru tahun
1795 Inggris memperoleh kedudukan di pulau Penang.
Di samping Inggris, orang-orang Bugis dengan pusat
perdagangannya di Riau juga menjadi saingan yang hebat terhadap
perdagangan Belanda. Perselisihan-perselisihan politik yang disebabkan
oleh keikutsertaaan Belanda di pihak Perancis dalam Perang
Kemerdekaan Amerika (1774-1783), mengakibatkan semakin
terancamannya kedudukan Belanda di Indonesia oleh Inggris.
Pertempuran-pertempuran laut antara gabungan Inggris-Belanda
melawan Perancis dalam tahun 1780-1784 semakin memperberat beban
keuangan yang ditanggung Belanda.
4. Kemerosotan Perdagangan VOC
Kemerosotan ini tentu saja disebabkan oleh persaingan dari
pedagang-perdagang lain dan juga sebagai akibat dari keburukan sistem
monopoli VOC. Clive Day berpendapat bahwa saingan perdagangan
merupakan sebab utama kemerosotan perdagangan VOC dalam abad
ke-18.5
Adapun sebab lain yang menyebabkan kemerosotan
perdagangan VOC itu adalah sistem monopoli. Perdagangan VOC
mulai merosot dengan hebatnya pada permulaan abad ke-18, yaitu
sewaktu Belanda memperoleh kekuasaan yang semakin luas di
Indonesia sehingga mengubah dirinya dari dagang ke politik. Apabila
VOC tetap pada tujuan aslinya yaitu dagang (membeli dan menjual di
pasar-pasar terbuka), maka uangnya tidak habis untuk membiayai
pemerintahan dan peperangan.
Pada pertengahan abad ke-18, Belanda di Jawa hampir-hampir
5 Clive Day, op. cit., hal. 77
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
sudah gulung tikar, karena kehabisan kas. Untuk menghadapi bahaya
kebangkrutan itu, Belanda meningkatkan usaha pengangkutan dan
menggalakkan simpanan untuk meningkatkan modal agar mampu
membiayai perdagangan internasional. Dengan demikian uang mulai
terkumpul kembali.
Sistem pengangkutan dan simpanan ini didasarkan kepada
kenyataan bahwa Belanda ialah tuan bagi orang-orang Indonesia dan
mereka memerlukan tanaman-tanaman tertentu untuk dijual di pasarpasar
lain. Dengan demikian rakyat dipaksa menjual hasil yang tertentu
tiap-tiap tahun kepada Belanda. Hasil-hasil itu dibayar dengan harga
yang rendah dan yang ditentukan oleh VOC.
Rakyat Indonesia juga terpaksa membiarkan sebagian dari
tanaman mereka tiap-tiap tahun sebagai upeti. Penyerahan paksa yang
mereka namakan simpanan itu ditentukan besarnya. Sistem ini sangat
menguntungkan VOC, tetapi mengundang kebencian rakyat.
Sementara itu barang-barang impor yang dimasukkan Belanda
ke Indonesia, seperti kain, yang diharapkan akan terjual, ternyata rakyat
tidak mampu membelinya lantaran daya beli yang sangat lemah.
Akibatnya, perdagangan Belanda semakin kecil sementara kekuasaan
politik mereka semakin bertambah besar.
5. Besarnya biaya untuk menghadapi perlawanan-perlawanan rakyat.
Pada waktu keuntungan semakin berkurang dan biaya
pemerintahan semakin bertambah, VOC harus menghadapi
perlawanan-perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia. Kondisi
keuangan Belanda yang paling rendah terjadi pada pertengahan abad
ke-18. Oleh karena itu perlawanan Bugis di Riau tahun 1783-1784
hampir dapat mengusir Belanda dari kota Malaka. Kota Malaka dapat
diselamatkan oleh pasukan van Braam yang tiba tepat pada waktunya.
Peperangan dengan Mataram, Banten, Makasar, bahkan juga
campur tangan Belanda dalam perang perebutan tahta di Mataram
sampai tiga kali, terutama perang melawan Raden Mas Said dan
Pangeran Mangkubumi, menelan banyak biaya. Beban keuangan itu
semakin diperparah apabila perlawanan tersebut muncul bersamaan,
seperti perang perebutan tahta di Jawa dan di Banten.
6. Pembagian keuntungan yang mengecewakan terhadap pemegang
saham
Dalam membagikan keuntungan kepada para pemegang saham
dalam kongsi dagang Belanda itu berlangsung secara tidak transparan.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
Hal ini terpaksa dilakukan oleh VOC karena kongsi dagang itu berusaha
untuk menyehatkan kembali keuangannya sehingga dapat melepaskan
diri dari kebangkrutan.
Dalam pembagian keuntungan itu, kadang-kadang VOC
memberikan keuntungan 50% dari modalnya pada saat kongsi itu tidak
mendapat untung. Kebijakan itu menyebabkan para pemegang saham
menyangka bahwa VOC adalah kongsi dagang yang menguntungkan
bagi penanam modal.
Sewaktu perdagangan VOC mendapat sedikit keuntungan, para
pemegang saham itu justru tidak diberi apa-apa. Akibatnya
ketidaktransparanan itu mengundang penafsiran bahwa VOC menipu
para pemegang saham. Ternyata dengan memberikan keuntungan yang
besar pada saat VOC merugi dan akibatnya hutang VOC semakin besar.
7. Perang Inggris-Belanda dan Perancis 1780-1784
Permusuhan Inggris-Belanda dan Perancis dalam tahun 1780-
1784 ternyata merupakan pukulan yang terakhir terhadap keuangan
VOC. Perdagangan Belanda terhenti di semua kawasan akibat
pengepungan Angkatan Laut Inggris yang sangat kuat, bahkan VOC
terblokade. Sebagai akibat pula, maka dana yang dikeluarkan untuk
menghadapi Inggris itu terlampau besar untuk ditanggung oleh kongsi
dagang yang sedang pailit itu.
Menurut Harrison, VOC tidak pernah pulih dari penderitaan
perang tahun 1780-1784 itu. Dalam peperangan ini, pengiriman barangbarang
dengan kapal-kapal pedagang Belanda tidak dapat lagi
dilakukan karena hancurnya angkatan laut Belanda dalam pertempuran
di Dogger Bank pada tahun 1781.6
Sebab-sebab merosotnya dan jatuhnya VOC mengambil waktu
yang lama. Benih kemerosotan itu mengambil waktu 100 tahun untuk
akhirnya meruntuhkan kekuasaan imperium perdagangan Belanda.
Kritikan-kritikan yang hebat terhadap pelaksanaan monopoli itu baru
mulai timbul dalam tahun 1774. Tetapi oleh karena tidak ada jalan lain
lagi untuk memperoleh penghasilan yang tetap, maka sistem monopoli
itu terus dilanjutkan.
Bertolak dari sistem yang dijalankan itu, maka para pakar
berpendapat bahwa Belanda dengan VOC-nya bukan penjajah yang
kejam tetapi loba dan tamak. Keruntuhan VOC terus berproses akibat
buruknya pemerintahan dan perdagangan VOC akibat saingan dari
6 Brian Harrison, South-East Asia: a short History, New York, Macmillan, 1954,
hal. 154.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
lawan-lawannya. Namun menurut J.F. Cady, sebab utama keruntuhan
VOC itu adalah kemerosotan atau penurunan taraf kerja pegawaipegawainya.
7
Sementara itu pakar sejarah Asia Tenggara yang lain banyak
yang berpendapat bahwa sebab-sebab jatuhnya VOC yang utama karena
VOC gagal memperoleh keuntungan yang cukup untuk membiayai
perluasan wilayah. Hal ini bisa kita runut dari pendapat Harrison yang
menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh tidak pernah melebihi
biaya yang dikeluarkan. 8
Beberapa sebab yang menyebabkan kongsi dagang Belanda itu
mengalami kebangkrutan memang saling kait-mengkait. Jika dicoba
untuk dicari sebab utama kejatuhan VOC itu, maka banyak persoalan
baru yang muncul, ibarat menjawab pertanyaan: mana yang lebih dulu
ada, telur atau ayam?
Jatuhnya VOC itu juga menyebabkan penderitaan bagi para
penanam tanaman ekspor di Indonesia. Sebab dengan jatuhnya VOC itu
maka berubah pula sistem politik dan ekonomi di Indonesia. Para
penghasil tanaman ekspor harus mengikuti perubahan-perubahan harga
yang cenderung merosot. Keadaan ini menimbulkan kemerosotan
ekonomi yang hebat di kemudian hari.
Sesungguhnya pada pertengahan abad ke-18 Gubernur Jenderal
Gustaaf van Imholf melakukan usaha-usaha untuk mencegah
kemerosotan ekonomi itu. Ia mengusulkan agar perdagangan dalam
negeri dan perdagangan Asia dibuka untuk pedagang-pedagang
perorangan dengan Batavia sebagai pusatnya. VOC itu bisa
mendapatkan uang dengan memungut cukai terhadap kapal dagang
dan barang-barang yang dibawa ke situ. Di samping itu, pada tahun
1745 didirikan Persatuan Candu guna mencegah penyelundupan candu,
kemudian juga dilakukan perluasan perladangan di kawasan tanah
tinggi Betawi guna menolong peladang sekaligus menambah masukan
bagi VOC.
Dalam perkembangannya, rencana van Imholf tersebut gagal
karena meletusnya perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said
(1749-1757), serta Perang Banten. Setelah perang selesai, tahun 1757
Belanda melanjutkan usahanya lagi, yaitu dengan membina hubungan
yang baik dengan raja-raja agar bisa kerjasama dengan mereka.
Penanaman kopi dan tebu digalakkan, kemudahan-kemudahan
7 J.F. Cady, South-East Asia Its Historical Development, New York, McGraw-Hill,
1964, hal. 228.
8 Brian Harrison, op. cit., hal.164.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
pengangkutan dimajukan, dan pegawai-pegawai VOC dinaikkan
gajinya. Tetapi hutangnya bertambah karena VOC membayar
keuntungan yang tinggi sedangkan kongsi itu tidak mampu berbuat
begitu, sementara beberapa peperangan dengan raja-raja semakin
menguras keuangannya.
Peperangan-peperangan Napoleon di Eropa mengakibatkan
perubahan pemerintahan di Nederland. Pada saat itu ternyata VOC
sudah tidak dapat lagi melunasi hutangnya dan sedang porak-poranda
pula. Hutangnya berjumlah 134 juta gulden. Akibatnya pada tanggal 31
Desember 1799 VOC pun dibubarkan. Kekuasaan terhadap semua tanah
jajahannya diambilalih oleh Kerajaan Belanda.
Setelah VOC bubar, Indonesia diserahkan kepada pemerintah
Belanda ( Republik Bataaf). Pegawai-pegawai VOC menjadi pegawai
pemerintah kolonial Belanda tersebut. Hutang VOC juga menjadi
tanggungan pemerintah Belanda. Dengan demikian sejak 1 Januari 1800
Indonesia dijajah langsung oleh negeri Belanda. Sejak saat itu Indonesia
disebut Hindia Belanda.
C. Indonesia Setelah Pergantian Kekuasaan
Setelah Indonesia menjadi Hindia Belanda, maka pemerintah
Belanda mengangkat seorang Gubernur Jenderal di Hindia Belanda,
yaitu van Overstraten. Ia berhasil menangkis serangan Inggris yang
dipimpin Admiral Ball. Hal ini berkat bantuan raja-raja Jawa. Namun
ancaman Inggris semakin meningkat.
Kalau kepentingan-kepentingan Belanda pada masa VOC
terbatas pada kepentingan perdagangan, maka dalam periode ini
Belanda mulai mengutamakan kepentingan politik. Belanda merebut
supremasi perdagangan dari orang-orang Portugis, teristimewa
perdagangan monopoli rempah-rempah. Kepentingan agama dan
ekonomi membawa orang-orang Portugis ke dunia Timur, tetapi tidak
lama kemudian kepentingan perdagangan menjadi lebih utama
daripada kepentingan agama, dan dengan kedatangan orang-orang
Belanda perdagangan itu menjadi tujuan yang utama.
Keinginan akan monopoli mendorong VOC melakukan
penaklukan-penaklukan untuk merebut perdagangan rempah-rempah.
Tujuan utama mengkonsentrasi perdagangan rempah-rempah itu
lambat laun bergeser menjadi mengembangkan perkebunanperkebunan
besar yang hasilnya sangat laku di pasaran Eropa, seperti
kopi, teh, gula, lada dan lain-lain.
Sistem eksploitasi dan monopoli tetap dipertahankan sewaktu
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
pemerintah Belanda mengambil alih administrasi VOC. Sampai
pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda memang masih
menganggap perdagangan sebagai kepentingan fundamental,
sedangkan kepentingan politik dan militer dianggap kurang esensial.9
Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut ada dua soal yang
perlu diterangkan. Pertama, dalam periode sebelum tahun 1850
ekspansi Belanda dapat disamakan dengan kolonialisme dalam arti
marxistis, karena ada akumulasi modal dan kelebihan produksi di
Negeri Belanda. Kedua, politik kolonial Belanda sesudah tahun 1850
harus diterangkan tidak hanya dari segi motif ekonomis saja, tetapi sifat
dan sebab-sebabnya harus juga dipelajari dari segi perluasan militer,
perluasan pegawai, perluasan politik dan agama, masing-masing
sebagai faktor penentu atau faktor pembantu.
Motif-motif ekonomis memang menguasai politik kolonial
Belanda, tetapi ini tidak berarti bahwa faktor-faktor lainnya boleh
diabaikan. Bahkan sebaliknya, beberapa faktor menunjukkan bahwa
sejarah imperialisme Belanda adalah manifestasi-manifestasi dari
idealisme politik dan agama.
Mereka yang berusaha menerangkan imperialisme Belanda
biasanya terperosok ke dalam kategori kaum diterminis ekonomis yang
berpendapat, bahwa kapitalisme adalah satu-satunya manifestasi yang
terorganisasi dari rezim kapitalis. Tidak dapat disangkal, bahwa
memang ada hubungan fungsional antara kekuatan ekonomis dan
politis, dan jelas bahwa perubahan-perubahan dan orientasi-orientasi
baru pada politik kolonial Belanda itu sesuai dengan terjadinya
tingkatan-tingkatan baru pada perkembangan ekonomi di Negeri
Belanda. Tetapi tidak boleh diabaikan, bahwa negarawan-negarawan
Belanda yang memegang pimpinan pandangan mereka tidak selalu
ditujukan kepada kepentingan-kepentingan ekonomis. Mereka itu
merupakan suatu mata rantai antara pelaksanaan yang senyatanya dari
suatu politik yang sudah tertentu, dan kecenderungan-kecenderungan
politik, ekonomi, dan sosial yang umum pada dewasa itu.
Dalam mendeskripsi pemerintah kolonial Belanda antara tahun
1800-1830, maka ada empat macam bidang garap yang dilakukannya.
Kecuali faktor ekonomi, fator-faktor lainnya adalah faktor politik, agama
dan sosial. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa liberalisme,
humanisme, kristianisme ikut serta dalam membentuk politik kolonial
9 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional dari Koloniialisme sampai Nasionalisme, jilid 2, Jakarta, PT Gramedia,
1990, hal. 4.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
Belanda saat itu. Sudah cukup jelas sebab-sebab yang kompleks dari
imperialisme Belanda, sehingga pendekatan multidimensional sangat
diperlukan dalam studi kita tentang imperialisme Belanda tersebut.10
Sifat-sifat pokok dari politik kolonial Belanda dapat dicari
dengan jalan mempergunakan ukuran analisis lain dan dengan jalan
memperbandingkan dengan imperialisme negara-negara Eropa lainnya.
Belanda membutuhkan hasil-hasil daerah tropis dan mendapatkannya
harus secara pemungutan upeti, karena pada bagian pertama dari abad
ke-19 mereka tidak mempunyai barang-barang untuk diperjualbelikan.
Sebaliknya orang-orang Inggris, mereka ingin menjual kain-kain tenun.
Kain-kain ini sebagai hasil dari Revolusi Industri, di Asia dapat
diperjualbelikannya dengan harga yang lebih murah daripada kain
tenun buatan penduduk pribumi.
Perbedaan fungsi tanah-tanah jajahan itu berakar pada
perbedaan kondisi-kondisi ekonomis dari negeri-negeri induknya. Bagi
Inggris, dengan industrinya yang sudah maju, perdagangan lebih
menguntungkan dari pemungutan upeti, dan tanah-tanah jajahan
dianggap sebagai pasar yang menguntungkan.
Belanda, setelah didominasi oleh Perancis selama dua puluh
tahun, tidak mempunyai industri dan modal. Tanah jajahannya
dianggap sebagai penghasil barang-barang ekspor yang dibutuhkan
untuk perdagangannya. Pada penghabisan abad ke-19 politik ini diganti
dengan politik kesejahteraan, karena kepenttingan-kepentingan
perdagangan ingin menciptakan suatu pasar di tanah jajahan dengan
daya beli yang cukup besar.
Bertolak dari pembahasan tersebut di atas, jelaslah bahwa
kepentingan-kepentingan di Indonesia sebagai tanah jajahan tergantung
pada negeri induk, tidak menjadi soal politik kolonial apakah yang
berlaku. Hanya mengenai caranya mencapai tujuan ada perbedaan
antara ide dan politik Belanda, bahwa daerah-daerah taklukan harus
memberi keuntungan material bagi Belanda, keuntungan yang memang
menjadi tujuan penaklukannya.
Pendapat umum tentang tanah jajahan memang membenarkan,
bahwa negeri induk itu mempunyai hak moral untuk menikmati segala
keuntungan sebagai upah memerintah tanah jajahannya. Orang
beranggapan bahwa surplus yang besar bagi perbendaharaan negeri
induk adalah sesuai dengan kepentingan yang pokok dan permanen
dari tanah-tanah jajahan.
Ideologi-ideologi politik yang besar di Eropa pada abad ke-19
10 Ibid, hal. 5.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
sangat berpengaruh pada imperilaisme dan politik kolonial Belanda.
Liberalisme mulai berkembang di negeri Belanda pada periode sesudah
Napoleon dan berhasil mengubah struktur politik pada kira-kira
pertengahan abad itu.
Dalam masa empat puluh tahun berikutnya lahirlah politik
kolonial yang lazim disebut politik kolonial liberal. Menjelang
berakhirnya abad itu, sosialisme tumbuh sebagai kekuatan baru dalam
politik Belanda dan segera tampil sebagai pendekar antikolonialisme.
Di dalam menyerang imperilisme, kritik mereka berbeda sekali
dengan kritik kaum liberal. Pada pokoknya kaum sosialis mengutuk
semua politik imperialisme sebagai alat kapitalisme, sedang kritik-kritik
kaum liberal hanya mengenai detail-detail dari politik kolonial.
Posisi Negeri Belanda di dalam percaturan politik internasional
mempunyai arti penting. Dapat dikatakan, bahwa karena perlindungan
Inggrislah Belanda dapat mempertahankan posisinya di tanah seberang.
Hal ini membawa akibat, Inggris dengan leluasa dapat mendesakkan
sistem perdagangan bebas dan politik pintu terbuka untuk berdagang
dan membuka perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Akhirnya, issue ekspansi kolonial pada semua kekuasaan
kolonial sebenarnya adalah soal dari partai-partai politik dan taktiktaktik
parlementer. Kerap kali persoalan kolonial itu bertautan dengan
persoalan-persoalan lain. Sudah jelas bahwa pada abad ke-19 di Negeri
Belanda opini umum dianggap sebagai hal yang benar. Ketidaktahuan
rakyat tentang tanah-tanah jajahan bukanlah hal yang aneh dan orang
tidak boleh berharap bahwa mereka akan menaruh perhatian kepada
negeri-negeri asing yang ada di luar pengetahuannya.
Menyimak proses pemerintah kolonial Belanda di Indonesia
awal abad ke-19, terbukti bahwa golongan idealis dan segolongan
rakyat yang mempunyai kepentingan di tanah-tanah jajahan sangat
berperan dalam pemerintahan. Kedua golongan itu mempunyai
pengaruh politik, oleh karena ikut menentukan dalam membentuk
sebagian besar politik kolonial.
D. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka tampaklah bahwa latar
belakang terjadinya pergantian kekuasaan karena VOC bangkrut.
Karena itu pada tahun 1800 di Indonesia telah terjadi pergantian
kekuasaan dari tangan VOC ke tangan pemerintah Belanda. Mulai tahun
1800 itu pula Indonesia dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda,
sehingga Indonesia dikenal sebagai Hindia Belanda. Sejak itu kekayaan
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
atau bahkan hutang-hutang VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda melanjutkan politik tradisional VOC dengan tujuan
memperoleh penghasilan sebagai upeti dan laba perdagangan,
semuanya demi keuntungan Negeri Belanda, dengan cara politik dan
administrasi VOC dijalankan suatu sistem pemerintahan tidak langsung,
pembesar-pembesar pribumi tetap mengurusi perkara-perkara pribumi
dan agen-agen Belanda dikuasakan mengawasi tanaman wajib yang
hasilnya untuk pasaran Eropa.
Dengan sendirinya penyelewengan-penyelewengan yang
terdapat pada sistem ini tidak dapat dihindari, misalnya, permintaan
pegawai-pegawai Belanda yang melampaui batas atau pemerasan dari
pembesar-pembesar pribumi. Sejak semula politik kolonial konservatif
ini sudah mendapat kritikan pedas dari golongan liberal, yang
menganjurkan suatu sistem pemerintahan secara langsung berdasarkan
prinsip liberal dan perdagangan serta inisiatif swasta.
Politik kolonial liberal yang digelar sejak 1 Januari 1800
dijalankan oleh Gubernur Jenderal van Straten dan Gubernur Jenderal
Daendels. Sedangkan sistem liberal baru mendapat kesempatan untuk
pertama kalinya pada zaman Raffles (Inggris) yang hanya berlangsung
selama 5 tahun (1811-1816), sebab setelah itu Indonesia dikuasai kembali
oleh Belanda.
Daftar Pustaka
Cady, J.F., South East Asia a History Development, New York, Mc Graw
Hill, 1964.
Day, Clive, The Dutchin Java, Kualalumpur, Oxford University Press,
1966
Harrison, Brian, South East Asia a Short History, New York, Macmillan,
1954.
Khoo, Gilbert, Sejarah Asia Tenggara Sejak 1500, Kualalumpur, penerbit
Fajar Bakti, SDN BHD, 1976
Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia dari Segi Sosiologis
Sampai akhir Abad XIX, Jakarta, Pradnya Paramita, 1984.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta, PT
Gramedia, 1980.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
~~~~~
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007PERGANTIAN KEKUASAAN DI INDONESIA
TAHUN 1800
A. Kardiyat Wiharyanto
A. Pendahuluan
Masa penjajahan Belanda di Indonesia dapat dibagi dalam dua
periode yaitu periode tahun 1602 sampai 1799, dan periode tahun 1800
sampai 1942. Periode pertama yaitu antara tahun 1602 sampai 1799,
Indonesia di bawah persekutuan dagang Belanda. Persekutuan dagang
itu dibentuk tahun 1602, dan merupakan hasil penyatuan atau merger
beberapa serikat dagang di Belanda. Serikat dagang ini bernama
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Kepada serikat dagang ini, pemerintah Belanda memberikan
hak-hak istimewa. Hak istimewa tersebut antara lain hak monopoli
perdagangan, hak mencetak uang sendiri, hak mengumumkan perang,
dan hak untuk membuat perjanjian dengan penguasa lain. Dengan
status seperti sebuah negara ini, VOC memiliki otonomi sendiri untuk
bertindak. Untuk mendukung otonomi tersebut, VOC dilengkapi
dengan pasukan bersenjata.
Di Indonesia, VOC pertama kali berpusat di Ambon. Gubernur
Jenderal pertamanya adalah Pieter Both. Di bawah kepemimpinannya,
VOC berhasil menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Namun, itu belum cukup bagi VOC sebab Malaka sebagai pusat
perdagangan di Asia Tenggara masih dikuasai Portugis. Oleh karena itu,
untuk menyingkirkan Portugis, Pieter Both merasa perlu memindahkan
pusat kegiatan VOC dari Ambon ke Jayakarta.
Ketika itu Jayakarta dikuasai Banten. Jayakarta dipilih karena
Portugis telah mendirikan kantor perdagangannya di sana. Selain itu,
letaknya strategis di jalur perdagangan Asia. Setelah mendapat
persetujuan dari Pangeran Jayakarta, VOC mendirikan kantor
dagangnya di Jayakarta. Mereka juga mendirikan benteng bernama
Batavia. Perpindahan pusat VOC ke Jayakarta terjadi pada masa
Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.
Kehadiran VOC di Jayakarta tentu membawa akibat persaingan
antara VOC dan Portugis. Namun dengan kelicikannya, VOC berhasil
mempengaruhi penguasa Banten untuk mencabut hak dagang Portugis
Drs. A.K. Wiharyanto, M.M., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan
Sejarah, FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
di wilayahnya. Sejak tanggal 31 Mei 1619, VOC memperoleh hak
monopoli penuh atas Jayakarta. Sejak saat itu pula nama Jayakarta
diganti Batavia.
Dari Batavia, VOC terus memperluas pengaruhnya ke wilayah
lain di Indonesia. Dengan kelicikan dan kekuatan militernya, VOC
akhirnya menjadi satu-satunya serikat dagang Eropa yang bisa
menguasai hampir seluruh wilayah nusantara. Perluasan pengaruh
politik VOC umumnya dilakukan dengan perjanjian-perjanjian yang
mengikat. Perjanjian ini dicapai setelah ada konflik, yaitu antara VOC
dengan penguasa setempat, antarpenguasa (salah satu penguasa
kemudian minta bantuan VOC), atau antara VOC dengan serikat
dagang Eropa lainnya.
Sejak menguasai perdagangan di Indonesia, sebenarnya VOC
terus menerus menghadapi perlawanan dari rakyat. Perlawanan
pertama dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram, kemudian Sultan
Hasanudin dari Makasar, Sultan Ageng dari Banten, Untung Suropati,
Trunojoyo, Raden Mas Said, dan Pangeran Mangkubumi. Akibatnya
beban VOC dari waktu ke waktu bertambah berat, sehingga tidak
mampu lagi menjalankan pemerintahannya di Indonesia. Akhirnya
sekitar tahun 1800 terjadi peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengetahui sekitar pergantian kekuasaan di
Indonesia tahun 1800, maka pada bagian berikut akan dibahas tentang
latar belakang terjadinya pergantian kekuasaan, dan kondisi Indonesia
setelah terjadi pergantian kekuasaan tahun 1800.
B. Latar Belakang Terjadinya Pergantian Kekuasaan
Seperti diungkapkan di atas bahwa bangsa Belanda datang ke
Indonesia untuk berniaga. Mula-mula terdapat beberapa kongsi dagang
yang menyediakan kapal-kapal, akan tetapi dalam tahun 1602 telah
didirikan suatu Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yaitu
gabungan kongsi-kongsi dagang yang berlayar ke Indonesia atau
Kongsi Dagang India Timur.1 Tujuan pokoknya adalah mencari untung
yang sebesar-besarnya.
Setelah berjalan lebih dari satu setengah abad, ternyata
keuntungan yang diperoleh semakin kecil , kasnya semakin menipis,
sedang anggaran belanja VOC semakin besar. Keadaan tersebut tidak
semakin bertambah baik tetapi justru semakin merosot. Itulah sebabnya
1 Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia, dari Segi Sosiologi Sampai
Akhir Abad XIX, Jakarta, Pradnya Paramita, 1984, hal. 60.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
VOC akhirnya membubarkan diri pada tanggal 31 Desember 1799.2
Adapun sebab-sebab jatuhnya VOC itu adalah:
1. Sistem monopoli VOC dengan akibat-akibat yang merugikan.
Tujuan monopoli dagang ini adalah untuk memperoleh
keuntungan sebanyak mungkin dari perdagangan. Karena VOC
merupakan sebuah persekutuan dagang yang terdiri dari para
pedagang dan pemegang saham, maka mereka sama sekali tidak
memperhatikan kehidupan atau membuat kebaikan terhadap oarngorang
pribumi. Sistem perdagangan seperti itu melemahkan
perdagangan dan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Akibat pemerintah Belanda tidak memperhatikan nasib rakyat
jajahan, maka penduduk pribumi menjadi sangat miskin dan bodoh.
Mereka tidak mampu membeli barang-barang produksi yang dijual oleh
Belanda. Bahkan tidak jarang penduduk pribumi tidak mampu membeli
beras dan bahan-bahan makanan lainnya yang akan dijual oleh Belanda.
Beberapa kebijaksanaan Belanda yang menyebabkan orangorang
Indonesia terus miskin:
a. Membeli murah, menjual mahal.
Belanda selalu membeli hasil bumi orang-orang Indonesia
dengan harga murah, sedangkan bahan-bahan makanan, kain dan
barang-barang lain dijual mahal kepada penduduk. Hal ini
menyebabkan penduduk tanah jajahan terlalu miskin untuk membeli
barang-barang kebutuhan pokok itu. Belanda menjalankan sistem
pembelian dan penjualan ini dengan tujuan untuk memperoleh barangbarang
yang lebih banyak dibanding barang-barang yang dijualnya.
b. Menjaga jumlah barang yang dimonopoli.
Belanda terus berusaha menjaga barang-barang yang dimonopoli
supaya harganya tidak merosot. Peraturan itu mereka jalankan agar
permintaan pasar dan harga tetap seimbang. Jika permintaannya tinggi,
maka pengeluaran dilebihkan dengan syarat harganya tidak jatuh.
Biasanya hasil yang berlebihan dikurangi dengan menebang dan
memusnahkan pohon-pohon, membakar atau mengubur hasil-hasil
yang berlebihan itu supaya harganya tetap tinggi. Misalnya, jika kopi
atau lada sangat dibutuhkan di Eropa, maka orang-orang Indonesia
akan dipaksa menanam lebih banyak pohon-pohon kopi dan lada.
Tanaman-tanaman ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
2 Gilbert Khoo, Sejarah Asia Tenggara Sejak tahun 1500, Kulalumpur, Penerbit
Fajar Bakti SDN.BHD., 1976, hal. 19.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
berbuah. Tetapi apabila sampai waktu bagi tanaman-tanaman ini
berbuah, permintaan terhadapnya mungkin sudah jatuh. Kalau hal itu
terjadi dan gudang-gudangnya masih penuh, maka kopi dan lada yang
berlebihan itu akan dimusnahkan untuk mempertahankan harganya di
Eropa. Sementara itu harga yang dibayar kepada penanam-penaman di
Indonesia dikurangkan pula. Orang-orang Belanda itu sendiri pun tidak
banyak mendapat faedah dari kebijaksanaan monopolinya itu sebab
mereka tidak dapat melakukan monopoli secara optimal. Pedagangpedagang
Arab dan Inggris membanjiri pasar-pasar di Indonesia
dengan kain-kain yang jauh lebih murah dari pada kain-kain Belanda.
Hal ini menyebabkan harga barang-barang yang dijual Belanda menjadi
sangat murah.
Pada pertengahan abad ke-18 barang-barang Belanda dijual
dengan lebih mahal di pasarnya sendiri. Jika kekuasaan Inggris semakin
kuat di India, maka mereka akan memperluas perdagangannya ke
Indonesia pula. Sebelum abad ke-18 berakhir, Belanda terpaksa
mengakui bahwa sistem monopolinya telah gagal.3
c. Kerjapaksa, penyelundupan dan perompakan di laut.
Agar bisa mengontrol secara ketat terhadap hasil yang
berlebihan serta memperoleh tenaga yang murah, maka Belanda
menganut cara pemerintahan di kerajaan-kerajaan tradisional di
Indonesia, yaitu kerja paksa. Kerja paksa yang berlebihan, misalnya
tempatnya jauh dan membutuhkan waktu yang lama, menyebabkan
para petani tidak mungkin mengerjakan tanahnya sendiri. Sewaktu
melakukan kerja paksa itu, para petani itu masih menyediakan
makanannya sendiri, namun juga pernah menerima rangsum dari
pemerintah Belanda.
Monopoli Belanda itu juga menyebabkan terjadinya
penyelundupan dan perompakan di laut. Kedua peristiwa itu sangat
merugikan perdagangan Belanda. Keuntungan yang diperoleh dari
penyelundupan itu sangat besar dibanding dengan bahaya yang
dihadapi. Di sisi lain, angkatan laut Belanda tidak mungkin mengawasi
seluruh perbatasan laut dalam waktu yang sama. Ini berarti bahwa
angkatan laut Belanda tidak cukup untuk mengawal monopoli Belanda.
Biasanya para penyelundup itu juga bertindak seperti bajak laut
yang merompak kapal-kapal Belanda dan merampok kapal-kapal
dagang Indonesia. Belanda kewalahan menghadapi masalah ini karena
angkatan laut Belanda sangat terbatas.
3 Clive Day, The Dutch in Java, Kualalumpur,Offord University Press, 1966, hal. 51.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
d. Menjaga monopoli terhadap tanaman-tanaman.
Di samping menjaga stok barang, Belanda juga menjaga
tanaman-tanaman agar hasilnya tidak melebihi permintaan pasar,
terutama tanaman rempah-rempah di Maluku, gula dari Jawa dan lada
dari Aceh. Untuk menjaga tanaman rempah-rempah di Maluku, Belanda
melakukan pelayaran Hongi yaitu pelayaran bersenjata untuk
memusnahkan tanaman-tanaman rempah-rempah yang dianggap
melanggar aturan.
Di samping biaya pengawasan juga mahal dan menimbulkan
dendam dari penduduk yang dirusak tanamannya, di sisi lain Perancis
dan Inggris menggalakkan penanaman pohon-pohon tersebut di tanah
jajahan mereka. Tidak lama kemudian Sri Lanka dan di India sudah
menghasilkan kayu manis dan bunga cengkih untuk orang-orang
Inggris. Sedangkan tempat pengumpulan rempah-rempah Inggris di
Bangkahulu dapat memperoleh rempah-rempah dari pedagangpedagang
setempat. Dengan demikian VOC sekali lagi mengalami
kerugian.4
2. Cara kerja yang tidak efektif dan efisien.
Pada mulanya VOC itu dimaksudkan sebagai badan
perdagangan semata-mata. Ada bukti yang menunjukkan bahwa ketika
VOC betul-betul menjalankan usaha perdagangan, VOC mendapat
keuntungan yang secukupnya. Tetapi setelah VOC itu berubah menjadi
badan pemerintah, maka anggaran pemerintahan atas seluruh wilayah
kekuasaannya melebihi keuntungan yang diperoleh. Oleh karena
susunannya tidak baik, maka timbullah beberapa keburukan yang
menyebabkan kerugian yang besar. Pegawai-pegawainya diangkat
berdasarkan keinginan para pejabat VOC sehingga tidak berdasarkan
profesinya.
Pegawai-pegawai yang tidak the raight man on the raight place
tersebut hanya diberi gaji kecil dan diberi kesempatan untuk
memperoleh tambahan gaji secara tidak resmi. Akibatnya terjadilah
perdagangan pribadi dari pegawai yang paling rendah sampai
Gubernur Jenderal.
Sementara pegawai-pegawai dan pejabat-pejabat VOC
memperoleh banyak penghasilan, namun tidak seperti halnya dengan
rakyat jajahan. Bagi pejabat VOC yang penting adalah bisa bersahabat
dengan raja-raja setempat supaya memperoleh monopoli perdagangan.
4 Gilbert Khoo, op. cit., hal. 20.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
Itulah sebabnya perlawanan rakyat Indonesia tidak henti-hentinya
sambung-menyambung mulai dari perlawanan Sultan Agung, Sultan
Hasanudin, Trunajaya, Sultan Ageng, Untung Surapati, Raden Mas Said,
dan Pangeran Mangkubumi.
Dengan adanya perlawanan dan penaklukan daerah-daerah baru
menyebabkan kas VOC semakin berkurang. Namun gaji yang rendah
juga mendorong terjadinya korupsi besar-besaran sehingga keuntungan
VOC semakin habis. Jadi, para pegawai VOC semakin memperkaya diri
sementara keuntungan VOC hanya cukup untuk mempertahankan
kongsi dagang tersebut.
Ada beberapa cara bagi para pegawai VOC untuk memperkaya
diri, yaitu:
a. Karena jabatan-jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi
dapat dibeli, maka pegawai-pegawai VOC itu dapat memegang
dua jabatan atau lebih supaya gajinya lebih besar.
b. Pegawai-pegawai VOC menjual barang-barang kepada VOC
dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga yang dibayar
kepada orang Indonesia.
c. Mereka mencuri barang-barang dari gudang-gudang VOC dan
membagi-bagikan barang-barang yang akan dikirim itu kepada
sesama pegawai VOC.
d. Sewaktu akan mengirim barang, timbangan-timbangan dilakukan
secara tidak betul sehingga terjadi sisa barang yang kemudian
dijadikan milik pribadi.
e. Para pegawai itu berdagang barang-barang seperti beras dan
candu yang telah ditetapkan oleh VOC sebagai barang-barang
dagangan monopoli VOC.
f. Mereka memungut sumbangan dari orang-orang Indonesia.
g. Mereka menerima tips untuk pertolongan yang mereka berikan,
walaupun sebenarnya itu tugas mereka.
h. Mereka mempergunakan kemudahan-kemudahan VOC untuk
menjalankan perdagangan pribadi.
i. VOC mendapat bagian dari sisa-sisa yang telah dikorupsi oleh
para pegawai. Pegawai-pegawai itu bersekongkol dengan orangorang
Indonesia untuk mengelabui VOC.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
3. Saingan Perdagangan
Mula-mula Belanda menghadapi persaingan Portugis dan
Inggris. Perdagangan Portugis akhirnya dapat dilumpuhkan, sehingga
tinggal berbentuk perdagangan perorangan dan tidak membahayakan
lagi. Sedangkan Inggris yang pada awalnya dapat didesak, namun
karena menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, maka akhirnya
justru menjadi pesaing Belanda yang utama dari Eropa.
Pedagang-pedagang Inggris dan pedagang-pedagang Asia dapat
masuk ke kawasan-kawasan perdagangan VOC. Mereka menawarkan
harga-harga barang yang lebih murah, sehingga membahayakan
perdagangan Belanda. Karena itu Belanda berusaha keras agar Inggris
tidak memiliki wilayah perdagangan di Indonesia, akibatnya baru tahun
1795 Inggris memperoleh kedudukan di pulau Penang.
Di samping Inggris, orang-orang Bugis dengan pusat
perdagangannya di Riau juga menjadi saingan yang hebat terhadap
perdagangan Belanda. Perselisihan-perselisihan politik yang disebabkan
oleh keikutsertaaan Belanda di pihak Perancis dalam Perang
Kemerdekaan Amerika (1774-1783), mengakibatkan semakin
terancamannya kedudukan Belanda di Indonesia oleh Inggris.
Pertempuran-pertempuran laut antara gabungan Inggris-Belanda
melawan Perancis dalam tahun 1780-1784 semakin memperberat beban
keuangan yang ditanggung Belanda.
4. Kemerosotan Perdagangan VOC
Kemerosotan ini tentu saja disebabkan oleh persaingan dari
pedagang-perdagang lain dan juga sebagai akibat dari keburukan sistem
monopoli VOC. Clive Day berpendapat bahwa saingan perdagangan
merupakan sebab utama kemerosotan perdagangan VOC dalam abad
ke-18.5
Adapun sebab lain yang menyebabkan kemerosotan
perdagangan VOC itu adalah sistem monopoli. Perdagangan VOC
mulai merosot dengan hebatnya pada permulaan abad ke-18, yaitu
sewaktu Belanda memperoleh kekuasaan yang semakin luas di
Indonesia sehingga mengubah dirinya dari dagang ke politik. Apabila
VOC tetap pada tujuan aslinya yaitu dagang (membeli dan menjual di
pasar-pasar terbuka), maka uangnya tidak habis untuk membiayai
pemerintahan dan peperangan.
Pada pertengahan abad ke-18, Belanda di Jawa hampir-hampir
5 Clive Day, op. cit., hal. 77
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
sudah gulung tikar, karena kehabisan kas. Untuk menghadapi bahaya
kebangkrutan itu, Belanda meningkatkan usaha pengangkutan dan
menggalakkan simpanan untuk meningkatkan modal agar mampu
membiayai perdagangan internasional. Dengan demikian uang mulai
terkumpul kembali.
Sistem pengangkutan dan simpanan ini didasarkan kepada
kenyataan bahwa Belanda ialah tuan bagi orang-orang Indonesia dan
mereka memerlukan tanaman-tanaman tertentu untuk dijual di pasarpasar
lain. Dengan demikian rakyat dipaksa menjual hasil yang tertentu
tiap-tiap tahun kepada Belanda. Hasil-hasil itu dibayar dengan harga
yang rendah dan yang ditentukan oleh VOC.
Rakyat Indonesia juga terpaksa membiarkan sebagian dari
tanaman mereka tiap-tiap tahun sebagai upeti. Penyerahan paksa yang
mereka namakan simpanan itu ditentukan besarnya. Sistem ini sangat
menguntungkan VOC, tetapi mengundang kebencian rakyat.
Sementara itu barang-barang impor yang dimasukkan Belanda
ke Indonesia, seperti kain, yang diharapkan akan terjual, ternyata rakyat
tidak mampu membelinya lantaran daya beli yang sangat lemah.
Akibatnya, perdagangan Belanda semakin kecil sementara kekuasaan
politik mereka semakin bertambah besar.
5. Besarnya biaya untuk menghadapi perlawanan-perlawanan rakyat.
Pada waktu keuntungan semakin berkurang dan biaya
pemerintahan semakin bertambah, VOC harus menghadapi
perlawanan-perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia. Kondisi
keuangan Belanda yang paling rendah terjadi pada pertengahan abad
ke-18. Oleh karena itu perlawanan Bugis di Riau tahun 1783-1784
hampir dapat mengusir Belanda dari kota Malaka. Kota Malaka dapat
diselamatkan oleh pasukan van Braam yang tiba tepat pada waktunya.
Peperangan dengan Mataram, Banten, Makasar, bahkan juga
campur tangan Belanda dalam perang perebutan tahta di Mataram
sampai tiga kali, terutama perang melawan Raden Mas Said dan
Pangeran Mangkubumi, menelan banyak biaya. Beban keuangan itu
semakin diperparah apabila perlawanan tersebut muncul bersamaan,
seperti perang perebutan tahta di Jawa dan di Banten.
6. Pembagian keuntungan yang mengecewakan terhadap pemegang
saham
Dalam membagikan keuntungan kepada para pemegang saham
dalam kongsi dagang Belanda itu berlangsung secara tidak transparan.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
Hal ini terpaksa dilakukan oleh VOC karena kongsi dagang itu berusaha
untuk menyehatkan kembali keuangannya sehingga dapat melepaskan
diri dari kebangkrutan.
Dalam pembagian keuntungan itu, kadang-kadang VOC
memberikan keuntungan 50% dari modalnya pada saat kongsi itu tidak
mendapat untung. Kebijakan itu menyebabkan para pemegang saham
menyangka bahwa VOC adalah kongsi dagang yang menguntungkan
bagi penanam modal.
Sewaktu perdagangan VOC mendapat sedikit keuntungan, para
pemegang saham itu justru tidak diberi apa-apa. Akibatnya
ketidaktransparanan itu mengundang penafsiran bahwa VOC menipu
para pemegang saham. Ternyata dengan memberikan keuntungan yang
besar pada saat VOC merugi dan akibatnya hutang VOC semakin besar.
7. Perang Inggris-Belanda dan Perancis 1780-1784
Permusuhan Inggris-Belanda dan Perancis dalam tahun 1780-
1784 ternyata merupakan pukulan yang terakhir terhadap keuangan
VOC. Perdagangan Belanda terhenti di semua kawasan akibat
pengepungan Angkatan Laut Inggris yang sangat kuat, bahkan VOC
terblokade. Sebagai akibat pula, maka dana yang dikeluarkan untuk
menghadapi Inggris itu terlampau besar untuk ditanggung oleh kongsi
dagang yang sedang pailit itu.
Menurut Harrison, VOC tidak pernah pulih dari penderitaan
perang tahun 1780-1784 itu. Dalam peperangan ini, pengiriman barangbarang
dengan kapal-kapal pedagang Belanda tidak dapat lagi
dilakukan karena hancurnya angkatan laut Belanda dalam pertempuran
di Dogger Bank pada tahun 1781.6
Sebab-sebab merosotnya dan jatuhnya VOC mengambil waktu
yang lama. Benih kemerosotan itu mengambil waktu 100 tahun untuk
akhirnya meruntuhkan kekuasaan imperium perdagangan Belanda.
Kritikan-kritikan yang hebat terhadap pelaksanaan monopoli itu baru
mulai timbul dalam tahun 1774. Tetapi oleh karena tidak ada jalan lain
lagi untuk memperoleh penghasilan yang tetap, maka sistem monopoli
itu terus dilanjutkan.
Bertolak dari sistem yang dijalankan itu, maka para pakar
berpendapat bahwa Belanda dengan VOC-nya bukan penjajah yang
kejam tetapi loba dan tamak. Keruntuhan VOC terus berproses akibat
buruknya pemerintahan dan perdagangan VOC akibat saingan dari
6 Brian Harrison, South-East Asia: a short History, New York, Macmillan, 1954,
hal. 154.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
lawan-lawannya. Namun menurut J.F. Cady, sebab utama keruntuhan
VOC itu adalah kemerosotan atau penurunan taraf kerja pegawaipegawainya.
7
Sementara itu pakar sejarah Asia Tenggara yang lain banyak
yang berpendapat bahwa sebab-sebab jatuhnya VOC yang utama karena
VOC gagal memperoleh keuntungan yang cukup untuk membiayai
perluasan wilayah. Hal ini bisa kita runut dari pendapat Harrison yang
menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh tidak pernah melebihi
biaya yang dikeluarkan. 8
Beberapa sebab yang menyebabkan kongsi dagang Belanda itu
mengalami kebangkrutan memang saling kait-mengkait. Jika dicoba
untuk dicari sebab utama kejatuhan VOC itu, maka banyak persoalan
baru yang muncul, ibarat menjawab pertanyaan: mana yang lebih dulu
ada, telur atau ayam?
Jatuhnya VOC itu juga menyebabkan penderitaan bagi para
penanam tanaman ekspor di Indonesia. Sebab dengan jatuhnya VOC itu
maka berubah pula sistem politik dan ekonomi di Indonesia. Para
penghasil tanaman ekspor harus mengikuti perubahan-perubahan harga
yang cenderung merosot. Keadaan ini menimbulkan kemerosotan
ekonomi yang hebat di kemudian hari.
Sesungguhnya pada pertengahan abad ke-18 Gubernur Jenderal
Gustaaf van Imholf melakukan usaha-usaha untuk mencegah
kemerosotan ekonomi itu. Ia mengusulkan agar perdagangan dalam
negeri dan perdagangan Asia dibuka untuk pedagang-pedagang
perorangan dengan Batavia sebagai pusatnya. VOC itu bisa
mendapatkan uang dengan memungut cukai terhadap kapal dagang
dan barang-barang yang dibawa ke situ. Di samping itu, pada tahun
1745 didirikan Persatuan Candu guna mencegah penyelundupan candu,
kemudian juga dilakukan perluasan perladangan di kawasan tanah
tinggi Betawi guna menolong peladang sekaligus menambah masukan
bagi VOC.
Dalam perkembangannya, rencana van Imholf tersebut gagal
karena meletusnya perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said
(1749-1757), serta Perang Banten. Setelah perang selesai, tahun 1757
Belanda melanjutkan usahanya lagi, yaitu dengan membina hubungan
yang baik dengan raja-raja agar bisa kerjasama dengan mereka.
Penanaman kopi dan tebu digalakkan, kemudahan-kemudahan
7 J.F. Cady, South-East Asia Its Historical Development, New York, McGraw-Hill,
1964, hal. 228.
8 Brian Harrison, op. cit., hal.164.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
pengangkutan dimajukan, dan pegawai-pegawai VOC dinaikkan
gajinya. Tetapi hutangnya bertambah karena VOC membayar
keuntungan yang tinggi sedangkan kongsi itu tidak mampu berbuat
begitu, sementara beberapa peperangan dengan raja-raja semakin
menguras keuangannya.
Peperangan-peperangan Napoleon di Eropa mengakibatkan
perubahan pemerintahan di Nederland. Pada saat itu ternyata VOC
sudah tidak dapat lagi melunasi hutangnya dan sedang porak-poranda
pula. Hutangnya berjumlah 134 juta gulden. Akibatnya pada tanggal 31
Desember 1799 VOC pun dibubarkan. Kekuasaan terhadap semua tanah
jajahannya diambilalih oleh Kerajaan Belanda.
Setelah VOC bubar, Indonesia diserahkan kepada pemerintah
Belanda ( Republik Bataaf). Pegawai-pegawai VOC menjadi pegawai
pemerintah kolonial Belanda tersebut. Hutang VOC juga menjadi
tanggungan pemerintah Belanda. Dengan demikian sejak 1 Januari 1800
Indonesia dijajah langsung oleh negeri Belanda. Sejak saat itu Indonesia
disebut Hindia Belanda.
C. Indonesia Setelah Pergantian Kekuasaan
Setelah Indonesia menjadi Hindia Belanda, maka pemerintah
Belanda mengangkat seorang Gubernur Jenderal di Hindia Belanda,
yaitu van Overstraten. Ia berhasil menangkis serangan Inggris yang
dipimpin Admiral Ball. Hal ini berkat bantuan raja-raja Jawa. Namun
ancaman Inggris semakin meningkat.
Kalau kepentingan-kepentingan Belanda pada masa VOC
terbatas pada kepentingan perdagangan, maka dalam periode ini
Belanda mulai mengutamakan kepentingan politik. Belanda merebut
supremasi perdagangan dari orang-orang Portugis, teristimewa
perdagangan monopoli rempah-rempah. Kepentingan agama dan
ekonomi membawa orang-orang Portugis ke dunia Timur, tetapi tidak
lama kemudian kepentingan perdagangan menjadi lebih utama
daripada kepentingan agama, dan dengan kedatangan orang-orang
Belanda perdagangan itu menjadi tujuan yang utama.
Keinginan akan monopoli mendorong VOC melakukan
penaklukan-penaklukan untuk merebut perdagangan rempah-rempah.
Tujuan utama mengkonsentrasi perdagangan rempah-rempah itu
lambat laun bergeser menjadi mengembangkan perkebunanperkebunan
besar yang hasilnya sangat laku di pasaran Eropa, seperti
kopi, teh, gula, lada dan lain-lain.
Sistem eksploitasi dan monopoli tetap dipertahankan sewaktu
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
pemerintah Belanda mengambil alih administrasi VOC. Sampai
pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda memang masih
menganggap perdagangan sebagai kepentingan fundamental,
sedangkan kepentingan politik dan militer dianggap kurang esensial.9
Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut ada dua soal yang
perlu diterangkan. Pertama, dalam periode sebelum tahun 1850
ekspansi Belanda dapat disamakan dengan kolonialisme dalam arti
marxistis, karena ada akumulasi modal dan kelebihan produksi di
Negeri Belanda. Kedua, politik kolonial Belanda sesudah tahun 1850
harus diterangkan tidak hanya dari segi motif ekonomis saja, tetapi sifat
dan sebab-sebabnya harus juga dipelajari dari segi perluasan militer,
perluasan pegawai, perluasan politik dan agama, masing-masing
sebagai faktor penentu atau faktor pembantu.
Motif-motif ekonomis memang menguasai politik kolonial
Belanda, tetapi ini tidak berarti bahwa faktor-faktor lainnya boleh
diabaikan. Bahkan sebaliknya, beberapa faktor menunjukkan bahwa
sejarah imperialisme Belanda adalah manifestasi-manifestasi dari
idealisme politik dan agama.
Mereka yang berusaha menerangkan imperialisme Belanda
biasanya terperosok ke dalam kategori kaum diterminis ekonomis yang
berpendapat, bahwa kapitalisme adalah satu-satunya manifestasi yang
terorganisasi dari rezim kapitalis. Tidak dapat disangkal, bahwa
memang ada hubungan fungsional antara kekuatan ekonomis dan
politis, dan jelas bahwa perubahan-perubahan dan orientasi-orientasi
baru pada politik kolonial Belanda itu sesuai dengan terjadinya
tingkatan-tingkatan baru pada perkembangan ekonomi di Negeri
Belanda. Tetapi tidak boleh diabaikan, bahwa negarawan-negarawan
Belanda yang memegang pimpinan pandangan mereka tidak selalu
ditujukan kepada kepentingan-kepentingan ekonomis. Mereka itu
merupakan suatu mata rantai antara pelaksanaan yang senyatanya dari
suatu politik yang sudah tertentu, dan kecenderungan-kecenderungan
politik, ekonomi, dan sosial yang umum pada dewasa itu.
Dalam mendeskripsi pemerintah kolonial Belanda antara tahun
1800-1830, maka ada empat macam bidang garap yang dilakukannya.
Kecuali faktor ekonomi, fator-faktor lainnya adalah faktor politik, agama
dan sosial. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa liberalisme,
humanisme, kristianisme ikut serta dalam membentuk politik kolonial
9 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional dari Koloniialisme sampai Nasionalisme, jilid 2, Jakarta, PT Gramedia,
1990, hal. 4.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
Belanda saat itu. Sudah cukup jelas sebab-sebab yang kompleks dari
imperialisme Belanda, sehingga pendekatan multidimensional sangat
diperlukan dalam studi kita tentang imperialisme Belanda tersebut.10
Sifat-sifat pokok dari politik kolonial Belanda dapat dicari
dengan jalan mempergunakan ukuran analisis lain dan dengan jalan
memperbandingkan dengan imperialisme negara-negara Eropa lainnya.
Belanda membutuhkan hasil-hasil daerah tropis dan mendapatkannya
harus secara pemungutan upeti, karena pada bagian pertama dari abad
ke-19 mereka tidak mempunyai barang-barang untuk diperjualbelikan.
Sebaliknya orang-orang Inggris, mereka ingin menjual kain-kain tenun.
Kain-kain ini sebagai hasil dari Revolusi Industri, di Asia dapat
diperjualbelikannya dengan harga yang lebih murah daripada kain
tenun buatan penduduk pribumi.
Perbedaan fungsi tanah-tanah jajahan itu berakar pada
perbedaan kondisi-kondisi ekonomis dari negeri-negeri induknya. Bagi
Inggris, dengan industrinya yang sudah maju, perdagangan lebih
menguntungkan dari pemungutan upeti, dan tanah-tanah jajahan
dianggap sebagai pasar yang menguntungkan.
Belanda, setelah didominasi oleh Perancis selama dua puluh
tahun, tidak mempunyai industri dan modal. Tanah jajahannya
dianggap sebagai penghasil barang-barang ekspor yang dibutuhkan
untuk perdagangannya. Pada penghabisan abad ke-19 politik ini diganti
dengan politik kesejahteraan, karena kepenttingan-kepentingan
perdagangan ingin menciptakan suatu pasar di tanah jajahan dengan
daya beli yang cukup besar.
Bertolak dari pembahasan tersebut di atas, jelaslah bahwa
kepentingan-kepentingan di Indonesia sebagai tanah jajahan tergantung
pada negeri induk, tidak menjadi soal politik kolonial apakah yang
berlaku. Hanya mengenai caranya mencapai tujuan ada perbedaan
antara ide dan politik Belanda, bahwa daerah-daerah taklukan harus
memberi keuntungan material bagi Belanda, keuntungan yang memang
menjadi tujuan penaklukannya.
Pendapat umum tentang tanah jajahan memang membenarkan,
bahwa negeri induk itu mempunyai hak moral untuk menikmati segala
keuntungan sebagai upah memerintah tanah jajahannya. Orang
beranggapan bahwa surplus yang besar bagi perbendaharaan negeri
induk adalah sesuai dengan kepentingan yang pokok dan permanen
dari tanah-tanah jajahan.
Ideologi-ideologi politik yang besar di Eropa pada abad ke-19
10 Ibid, hal. 5.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
sangat berpengaruh pada imperilaisme dan politik kolonial Belanda.
Liberalisme mulai berkembang di negeri Belanda pada periode sesudah
Napoleon dan berhasil mengubah struktur politik pada kira-kira
pertengahan abad itu.
Dalam masa empat puluh tahun berikutnya lahirlah politik
kolonial yang lazim disebut politik kolonial liberal. Menjelang
berakhirnya abad itu, sosialisme tumbuh sebagai kekuatan baru dalam
politik Belanda dan segera tampil sebagai pendekar antikolonialisme.
Di dalam menyerang imperilisme, kritik mereka berbeda sekali
dengan kritik kaum liberal. Pada pokoknya kaum sosialis mengutuk
semua politik imperialisme sebagai alat kapitalisme, sedang kritik-kritik
kaum liberal hanya mengenai detail-detail dari politik kolonial.
Posisi Negeri Belanda di dalam percaturan politik internasional
mempunyai arti penting. Dapat dikatakan, bahwa karena perlindungan
Inggrislah Belanda dapat mempertahankan posisinya di tanah seberang.
Hal ini membawa akibat, Inggris dengan leluasa dapat mendesakkan
sistem perdagangan bebas dan politik pintu terbuka untuk berdagang
dan membuka perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Akhirnya, issue ekspansi kolonial pada semua kekuasaan
kolonial sebenarnya adalah soal dari partai-partai politik dan taktiktaktik
parlementer. Kerap kali persoalan kolonial itu bertautan dengan
persoalan-persoalan lain. Sudah jelas bahwa pada abad ke-19 di Negeri
Belanda opini umum dianggap sebagai hal yang benar. Ketidaktahuan
rakyat tentang tanah-tanah jajahan bukanlah hal yang aneh dan orang
tidak boleh berharap bahwa mereka akan menaruh perhatian kepada
negeri-negeri asing yang ada di luar pengetahuannya.
Menyimak proses pemerintah kolonial Belanda di Indonesia
awal abad ke-19, terbukti bahwa golongan idealis dan segolongan
rakyat yang mempunyai kepentingan di tanah-tanah jajahan sangat
berperan dalam pemerintahan. Kedua golongan itu mempunyai
pengaruh politik, oleh karena ikut menentukan dalam membentuk
sebagian besar politik kolonial.
D. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka tampaklah bahwa latar
belakang terjadinya pergantian kekuasaan karena VOC bangkrut.
Karena itu pada tahun 1800 di Indonesia telah terjadi pergantian
kekuasaan dari tangan VOC ke tangan pemerintah Belanda. Mulai tahun
1800 itu pula Indonesia dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda,
sehingga Indonesia dikenal sebagai Hindia Belanda. Sejak itu kekayaan
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
atau bahkan hutang-hutang VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda melanjutkan politik tradisional VOC dengan tujuan
memperoleh penghasilan sebagai upeti dan laba perdagangan,
semuanya demi keuntungan Negeri Belanda, dengan cara politik dan
administrasi VOC dijalankan suatu sistem pemerintahan tidak langsung,
pembesar-pembesar pribumi tetap mengurusi perkara-perkara pribumi
dan agen-agen Belanda dikuasakan mengawasi tanaman wajib yang
hasilnya untuk pasaran Eropa.
Dengan sendirinya penyelewengan-penyelewengan yang
terdapat pada sistem ini tidak dapat dihindari, misalnya, permintaan
pegawai-pegawai Belanda yang melampaui batas atau pemerasan dari
pembesar-pembesar pribumi. Sejak semula politik kolonial konservatif
ini sudah mendapat kritikan pedas dari golongan liberal, yang
menganjurkan suatu sistem pemerintahan secara langsung berdasarkan
prinsip liberal dan perdagangan serta inisiatif swasta.
Politik kolonial liberal yang digelar sejak 1 Januari 1800
dijalankan oleh Gubernur Jenderal van Straten dan Gubernur Jenderal
Daendels. Sedangkan sistem liberal baru mendapat kesempatan untuk
pertama kalinya pada zaman Raffles (Inggris) yang hanya berlangsung
selama 5 tahun (1811-1816), sebab setelah itu Indonesia dikuasai kembali
oleh Belanda.
Daftar Pustaka
Cady, J.F., South East Asia a History Development, New York, Mc Graw
Hill, 1964.
Day, Clive, The Dutchin Java, Kualalumpur, Oxford University Press,
1966
Harrison, Brian, South East Asia a Short History, New York, Macmillan,
1954.
Khoo, Gilbert, Sejarah Asia Tenggara Sejak 1500, Kualalumpur, penerbit
Fajar Bakti, SDN BHD, 1976
Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia dari Segi Sosiologis
Sampai akhir Abad XIX, Jakarta, Pradnya Paramita, 1984.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta, PT
Gramedia, 1980.
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007
~~~~~
SPPS, Vol. 21, No. 1, April 2007